Minggu, 18 Maret 2012

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT LAHI KAWIN


TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT  LAHI KAWIN (STUDI KASUS DI REJOSARI, PAMENANG,
MERANGIN, JAMBI)


 















SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM


OLEH:
TITIK RIYANI
07350015


PEMBIMBING:
1.      Drs. AHMAD PATTIROY, M.Ag.
2.      Hj. FATMA AMILIA, S.Ag., M.Si.



AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011



ABSTRAK
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam melakukan pernikahan antara masyarakat satu dengan yang lainnya tidaklah sama, hal ini dikarenakan mereka mempunyai adat dan kebiasaan sendiri. Ketentuan tentang perkawinan adat di Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi akan dibahas dalam skripsi ini.
Di masyarakat Rejosari ada lima macam tata-cara perkawinan, pertama Duduk Betunang, kedua Beciri Tuo, ketiga Kawin Selaju Berelek, keempat Kawin Salah Bujang Gadis, kelima Lahi Kawin, yaitu larinya seorang laki-laki dan perempuan dengan didampingi seorang teman atau kerabat kerumah ketua adat untuk mengadakan pernikahan tanpa adanya peminangan dan tanpa sepengetahuan orang tua seperti lazimnya, untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama Islam.
Penyusun mengunakan kaidah al-‘adatul muhkamah dan maslahah-mursalah untuk menganalisis kasus lahi kawin yang terjadi di Desa Rejosari untuk menentukan sah dan tidaknya perkawinan tersebut. Dalam penelitian ini, penyusun mengunakan hasil wawancara dan observasi lapangan sebagai data utamanya, sedangkan data sekunder diambil dari berbagai literatur yang mendukung untuk dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosio-historis, dimana pada dasarnya produk pemikiran hukum merupakan hasil dari interaksi sosial, dengan pendekatan tersebut apakah adat lahi kawin ini sesuai dengan ketentuan hukum Islam dengan memperhatikan nash-nash yang ada, serta apakah adat  lahi kawin tersebut mendatangkan banyak implikasi positif atau implikasi negatif dalam hal pelaksanaannya, sehingga sangat ditaati dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis hukum Islam terhadap data hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa adat lahi kawin adalah salah satu adat yang dilakukan dalam melangsungkan pernikahan, adat lahi kawin sesuai dengan ketentuan hukum Islam, karena sudah memenuhi syarat dan kriteria perkawinan menurut hukum Islam, undang-undang dan kompilasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain hukum adat lahi kawin adalah boleh (mubah). Walaupun penyusun berkesimpulan bahwa adat lahi kawin mubah, tapi hal ini  tidak sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial.





   Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga                                                      FM-UINSK-BM-05-03/5


SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR


Hal                  : Persetujuan skripsi
Lamp               : -

Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di Yogyakarta


Assalamu’alaikum Wr.Wb

Setelah kami membaca, mengoreksi, dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:

Nama               : Titik Riyani
NIM                : 07350015
Judul Skripsi        : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat  Lahi Kawin (Studi Kasus di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)

Sudah dapat diajukan kembali kepada fakultas Syari’ah dan Hukum, jurusan/program studi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Ilmu Hukum Islam.

Dengan ini kami mengharap agar skripsi/tugas akhir saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Yogyakarta, 06 Rajab 1432 H
                                                                                                08 Juni 2011 M

Pembimbing I



Drs. Ahmad Pattiroy, M.Ag.
NIP: 19620327 199203 1 001
 

   Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga                                                      FM-UINSK-BM-05-03/5


SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR


Hal                  : Persetujuan skripsi
Lamp               : -

Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di Yogyakarta


Assalamu’alaikum Wr.Wb

Setelah kami membaca, mengoreksi, dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:
Nama               : Titik Riyani
NIM                : 07350015
Judul Skripsi        : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat  Lahi Kawin (Studi Kasus di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)

Sudah dapat diajukan kembali kepada fakultas Syari’ah dan Hukum, jurusan/program studi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Ilmu Hukum Islam.

Dengan ini kami mengharap agar skripsi/tugas akhir saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Yogyakarta, 06 Rajab 1432 H
                                                                                                08 Juni 2011 M


Pembimbing II


Hj. Fatma Amilia, S.Ag, M.Si.
NIP: 19720511 199603 2 002



PENGESAHAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR



Skripsi/Tugas Akhir dengan judul          : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lahi Kawin (Studi Kasus di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)
Yang dipersiapkan dan disusun oleh      :
Nama                                                      :Titik Riyani
NIM                                                        : 07350015
Telah dimunaqosyahkan pada                : Selasa, 21 Juni 2011
Nilai munaqasyah                                   : A-
Dan dinyatakan diterima oleh fakultas syari’ah dan Hukum UIN sunan Kalijaga
TIM MUNAQOSYAH
Ketua Sidang



Drs. Ahmad Pattiroy, M.Ag.
NIP: 19620327 199203 1 001

Penguji I                                                                      Penguji II




    Drs. Abdul Halim, M.Hum.                                    Drs. Supriatna, M.Si.
NIP: 19630119 199003 1 001                            NIP: 19541109 198103 1 001

DEKAN FAKULTAS SYARI”AH
UIN SUNAN KALIJAGA


Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D.
NIP: 19600417 198903 1 001





MOTTO

PLAN YOUR WORK, WORK YOUR PLAN


 TUJUAN BUKANLAH YANG UTAMA. YANG UTAMA ADALAH PROSES.
{maka hargailah proses, karena proses yang baik akan menghasilkan hasil yang baik}


SETIAP LANGKAH DAN NAFASMU DITUNTUT TANGGUNG JAWAB




Persembahan
Karya ini kupersembahkan untuk almamaterku.
Rasa hormat dan terimakasihku kepada keluargaku tercinta yang selalu setia.
Belahan jiwak {MKT} yang selalu memberi motivasi dan dukungan.

***   (~_~)    ***







KATA PENGANTAR

بـــــسم الله الرحمن الرحيــــــم

الحمد لله الذى علم بالقلم علم  الانسان مالم يعلم . اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمدا رسول الله . اللهم صل على محمد وعلى اله وصحبه اجمعين.
اما بعد.

Puji syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kenikmatan-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lari Kawin  (Studi Kasus Di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada uswah hasanah dan Revolusioner sejati Nabi Muhammad SAW. beserta seluruh keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Penyusunan skripsi ini tidak mungkin bisa terselesaikan apabila tanpa bantuan dan support dari pelbagai pihak. Berkat  pengorbanan, perhatian, serta motivasi merekalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, skripsi ini dapat terselesaikan.
Untuk itu, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak, antara lain kepada:
1.      Prof. Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2.      Hj. Fatma Amilia, M.Si., selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah sekaligus Pembimbing II, yang telah banyak memberi bimbingan, arahan dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
3.       Drs. Ahmad Pattiroy, M.Ag., selaku Penasehat Akademik (PA) dan  pembimbing I yang telah banyak memberi masukan dalam penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini.
4.      Pemerintah privinsi Jambi, kabupaten Merangin, Kecamatan Pamenang, Desa Rejosari yang telah memberikan kesempatan bagi penyusun untuk mengadakan penelitian.
5.      Ayahanda Sunardi dan Ibunda Mismi yang telah berjuang dengan segala kemampuan baik berupa materiil maupun spiritual untuk kelancaran studi bagi penyusun, selalu terpanjat do’a, ridho dan kasih sayangnya. Mudah-midahan Allah membalas dengan segala kebahagiaan.
6.      Adikku Nining Purwanti yang selalu mendukung dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan studi. Tetap berjuang demi seulas senyum dibibir bunda.
7.      Kekasihku Mustafa Kamal Tarigan yang selalu sabar menemani. Semoga Allah menyatukan kita dalam bingkai kehalalan.
8.      Bapak lurah, para pemuka adat dan tokoh masyarakat didesa Rejosari, Kecamatan Pamenang yang banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
9.      Sahabat-sahabat dikost, ninink(adek sekaligus kongsi kamar), alma tetangga yg cerewet, mbak sofi, maryam, dan yang bisa penyusun sebut satu persatu, terimakasih atas dukungan dan motivasinya.
10.  Teman-teman AS angkatan 2007 khususnya klas A (Fitri, Zaki, Intan, Maryam, Chusni, bang Oby, Slamet, Lutfi, Opiq, aa’ Dede, bang Zul, Cemel), semoga teman-teman bisa menggapai cita-cita, angan, impian dan cinta masing-masing.
11.  Anak-anak BERLEB, Tigan (tetep jadi panutan yang baik ya), Arini (bersikap lebih dewasa ya dek), Uma (kembangkan karya dan gombalmu kawan), Lena (sabar kawan,badai pasti berlalu). Buat semuanya, cepet wisuda ya, sampai jumpa di Senayan.
12.  Teman-teman KKN angkatan 70 tahun 2010, teman-teman Magang Peradilan di Pengadilan Agama Sleman tahun 2010 dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih.  
Akhir kata tidak ada gading yang tak retak, penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan  skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak sangat penyusun harapkan. Penyusun berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya bagi siapa saja yang berkepentingan.


Yogyakarta,04  Rajab 1432 H
        06  Juni   2011 M
                      Penyusun


Titik Riyani
                          NIM. 07350015






 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu ketentuan Allah yang umum berlaku pada semua mahluk baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki dan tidak ada suatu aturan. Demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah menciptakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan secara terhormat diatur dengan tatacara pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang-biak dan menjaga kelestarian hidupnya. Pernikahan terjadi setelah masing-masing pasangan siap melaksanakan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. [1]
ﻮﻣﻥ أﻴﺗﻪ ﺍﻥ ﺨﻠﻖ ﻠﮑﻢ ﻤﻦ ﺃﻨﻔﺴﮑﻢ ﺃﺰﻮﺍﺠﺎ ﻠﺗﺴﮑﻨﻮﺍ ﺇﻠﻴﮭﺎ ﻮﺠﻌﻞ ﺒﻴﻨﮑﻢ ﻤﻮﺪﺓ ﻮﺮﺤﻣﺔ ﺇﻦﻔﻲ ﺫﻠﻚ ﻷﻴﺖ ﻠﻗﻮﻢ ﻴﺘﻓﮑﺮﻮﻦ[2]
Allah menciptakan manusia berbeda jenis, ada laki-laki dan ada juga perempuan yang bertujuan untuk bisa saling mencintai dan menyayangi serta mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Islam menawarkan aturan dan prosedur yang harus dipenuhi, salah satunya adalah dengan proses peminangan dan pernikahan.
Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai berbagai macam tradisi, adat istiadat, agama, suku bangsa dan ras, dalam setiap kehidupannya. Salah satu adat yang dimiliki dan masih hidup di masyarakat Indonesia adalah tata-cara perkawinan, mulai dari proses meminang hingga terjadinya proses perkawinan yang sah.
Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat, hal ini berkaitan erat dengan susunan masyarakat atau kekeluargaan yang dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya. Pola kekerabatan dalam masyarakat ada yang menganut sistem kekerabatan patrilineal yang bergariskan pada keturunan ayah, sedangkan dalam sistem kekerabatan matrilineal berdasarkan pada garis keturunan ibu. Salah satu contoh dalam hal peminangan, pada sistem kekerabatan patrilineal peminangan dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan kekerabatan matrilineal peminangan dilakukan oleh pihak perempuan kepada laki-laki sebagaimana yang terdapat di masyarakat Sumatra Barat. Oleh karena itu tanpa mengetahui bagaimana sistem masyarakat adat yang bersangkutan, maka tidak mudah mengetahui hukum perkawinannya.[3]
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Desa Rejosari proses terjadinya perkawinan terbagi menjadi lima:
1.      Duduk Betunang, yaitu perkawinan yang menggunakan upacara adat yang sempurna. Mulai dari proses peminangan yang biasa disebut dengan bekampung merunding anak dilamar orang yang berarti orang (mengumpul suku) adalah berundingnya kedua belah pihak dalam proses menjelang melangsungkan lamaran, bekampung duduk betunang yang berarti dua belah pihak duduk dalam satu ruangan dalam prosesi lamaran, bekampung menyemua banyak yang berarti semua suku induk mengantarkan  telimak ke rumah pihak perempuan, dan bekampung menyerah lek yang berarti berkumpul mengadakan pesta pernikahan. Proses perkawinan yang seperti ini sama-sama sudah disetujui oleh keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin perempuan. Proses pernikahan ini biasanya sama dengan pernikahan pada umumnya.[4]
2.      Beciri Tuo, yaitu proses pernikahan yang masih ada ikatan famili. Dalam seloko adat dikenal dengan:
Orang bergantang, dalam sumpi              Orang memasak dalam kuali
Masih becega dalam suku.[5]                       Masih terhalang dalam suku
Tata-caranya hampir sama dengan proses perkawinan di atas, hanya saja proses tersebut tidak dihadiri oleh tetua adat.  
3.      kawin Selaju Berelek, sesuai dengan sluko adat:
 Sehari ado sehari benano,                       Sehari ada sehari ilang
 Sehari betepu telingo hangat,                   Sehari ditepuk telinga hangat
Orang bekisa ditempat yang ado,             Orang bercerita ditempat itulah
Intan bejudu samo jayo.[6]                           Tujuan bahagia sama bahagia
Yaitu perkawinan yang dari proses peminangan hingga pernikahan tidak memiliki jeda waktu yang lama.
4.      Lahi Kawin, yaitu larinya seorang laki-laki dan perempuan dengan ditemani oleh orang lain ke rumah imam atau tetua adat untuk mengadakan pernikahan tanpa adanya peminangan seperti lazimnya, untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama Islam. Hal ini sesuai dengan seloko adat:
 Bejalan kelam bulan,                               Berjalam gelap malam,
 Besuluk batang pisang.                            Berobor batang pisang.
 Melayang berbiduk penggal serong,        Berlayar biduk berbelok arah,
 Bejalan pintas sepinggal.[7]                         Mencari jalan pintas.
5.      Kawin Salah Bujang Gadis, yaitu perkawinan yang pada dasarnya tidak dikehendaki oleh salah satu atau kedua belah pihak. Perkawinan ini terjadi apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan di tempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani, yang kemudian ditangkap atau digrebek. Pasangan yang tertangkap ini wajib dinikahkan dan didenda adat bagi keduanya, hal ini sesuai dengan sluko adat:
Tepekik tepukau, takeja talelah.                Terpekik terpukau, dikejar tertangkap
Tetampuk tetangkai, teciri tewatang.        Bertemu terangkai, tertanda bersama
Tepijak benah arang, lah itam tapak.       Kaki terinjak arah, itamlah telapak kaki
Tepijak benah kapua, lah putih tapak.      Kaki terinjak kapur, putihlah kaki
Lah tetangkap dengan salahnyo.              Sudah terkangkap dengan bukti salah
Lah bepisang tuo, lah betebu panjang.[8]    Bagai pisang tua, bagai tebu panjang
Berangkat dari realitas yang ada, bahwa adat  lahi kawin ini adalah suatu sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat Desa Rejosari. Bagi mereka yang beragama Islam tentu saja ingin mengetahui bagaimana kepastian hukum Islam terhadap beberapa pernikahan adat yang berkembang di masyarakat seperti kenyataan yang ada.
Tata cara pelaksanaan adat lahi kawin yaitu dengan cara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling menyukai pergi ke rumah imam atau tetua adat dengan didampingi seorang teman dan tanpa sepengetahuan orang tua mereka terutama orang tua perempuan. Apabila hal ini terjadi, maka setuju atau tidak setuju orang tua harus menikahkan mereka dan membayar denda adat. Denda ini diberlakukan bagi kedua-belak pihak keluarga sesuai dengan adat:
 Lah menyupak adat,               Sudah menyoreng adat,
 menyumbing paseko,              Melanggar aturan,
 Lah telando tali undang,        sudah terikat tali undang-undang
 lah tetijak tambang teliti.[9]       sudah terpijak tambang teliti.
Tradisi lahi kawin di Desa Rejosari dilakukan muda-mudi setempat terkadang membuat orang tua mereka kaget apabila mendengar anaknya lahi kawin. Karena biasanya pasangan yang melakukan lahi kawin sudah sama-sama saling suka, cinta, dan mantap dengan pilihannya, tetapi salah satu orang tua atau keluarga tidak menyetujuinya, dan bisa jadi orang tua sudah memiliki pilihan yang menurut mereka lebih pantas bagi anak mereka. Kemudian faktor yang lainnya adalah pihak laki-laki tidak sanggup membayar telimak[10] atau tidak sanggup membayar biaya pesta perkawinan adat yang menggunakan lamaran pada proses kawin beradat , Ini disebabkan telimak yang diminta oleh keluarga si-gadis terlalu tinggi, kemudian bagaimana analisis hukum Islam mengenai hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam skripsi yang berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lahi Kawin, studi kasus di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi”. Proses penelitian ini merupakan awal untuk mengetahui permasalahan tersebut dengan cara mengamati dan mencari informasi tentang lahi kawin pada masyarakat setempat, khususnya pada orang-orang yang mengerti tentang lahi kawin.
B.     Pokok Masalah
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka penyusun merumuskan  pokok masalah yang dikaji lebih dalam adalah:
1.      Apa yang melatarbelakangi terjadinya “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang,  Meragin, Jambi?
2.      Bagaimana proses perkawinan “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi?
3.      Bagaimana Tinjauan hukum Islam terhadap “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang, Meragin, Jambi?
C.    Tujuan dan Kegunaan
  Mengacu pada rumusan pertanyaan dalam pokok masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Menjelaskan faktor yang melatarbelakangi terjadinya “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang, Meragin, Jambi.
2.      Menjelaskan tata cara “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi.
3.      Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap “lahi kawin” di Rejosari Pamenang, Meragin, Jambi.
Sedangkan kegunaan dari penelitian  ini adalah:
1.      Sebagai bahan kajian dan penelitian lebih lanjut dalam rangka memperkaya hasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum Islam.
2.      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah wacana keilmuan tentang “lahi kawin” pada masyarakat Rejosari, khususnya dan masyarakat adat pada umumnya.
D.    Telaah Pustaka 
Dalam  penyusunan sebuah skripsi, studi pustaka sangat dibutuhkan dalam rangka menambah wawasan terhadap masalah yang akan dibahas oleh penyusun skripsi dan sebelum penyusun melangkah lebih jauh dalam membahas permasalahan ini, penyusun terlebih dahulu meneliti buku atau karya ilmiah yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penyusun bahas.
Dari hasil penelusuran terhadap literatur yang membahas tentang perkawinan adat, baik secara umum maupun khusus yang penulis ketahui adalah:
Buku yang membahas tentang kawin lari yaitu  karya Sution Usman Adji  yang berjudul Kawin Lari dan Kawin Antar Agama[11] dan karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat Sketsa Asas.[12]Dalam dua buku tersebut dijelaskan maksud dari kawin lari itu sendiri beserta contoh-contohnya, dan nama lain dari kawin lari. Akan tetapi tidak ada penjelasan secara detail hukum dari kawin lari itu sendiri.
Adapun skripsi yang terkait dengan pembahasan perkawinan adat lahi kawin dan kawin lari adalah:
Skripsi Imawati yang berjudul “Perlindungan Terhadap Hak-hak Perempuan Dalam Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Tentang kawin Bawa Lari di Kota Metro, lampung)”.[13] Skripsi ini hanya membahas mengenai kawin paksa antara pasangan laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak ada janji untuk melangsungkan perkawinan, namun hal ini erat kaitannya dengan perkawinan adat Indonesia.
Skripsi milik Linnida Santi yang berjudul “Kawin Lari Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Mompang, Kecamatan Padang Sidempuan Batunadua, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara)”.[14] Pada skripsi ini tatacara kawin lari tidak diketahui oleh orang tua, dan perkawinan lari ini lebih banyak melibatkan teman atau keluarga dekat si-pelaku kawin lari. Dalam kawin lari adat yang terjadi pada masyarakat Mopang tidak ada tokoh adat yang terlibat selama peristiwa kawin lari berlangsung, kemudian kawin lari yang dilakukan oleh masyarakat Mopang dianggap perbuatan memalukan keluarga, apabila melihat konsekuensi pada pihak perempuan yang mana pihak perempuan tidak berhak menentukan jumlah mahar yang akan diberikan laki-laki sebelum melangsungkan perkawinan.
Kemudian skripsi Syazili yang berjudul “Tinjauan Hukum Perkawinan Islam Terhadap Perkawinan Rasan Tua (Studi Kasus di Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Kemiring Ilir, Provinsi Sumatra Selatan)”.[15] skripsi ini membahas tentang perkawinan yang dipaksakan oleh kedua orang tua calon pengantin.
Kemudian skripsi yang disusun  oleh Nani Kuswani yang berjudul “Wali Hakim Dalam Kawin Lari”.[16] Dalam skripsi tersebut menjelaskan hukum kawin lari dalam perspektif hukum Islam dan kedudukan wali hakim dalam kawin lari.
Kesimpulan dari telaah pustaka di sini adalah adat lahi kawin yang terjadi di masyarakat Rejosari sangat berbeda dengan pembahasan yang telah ditulis sebelumnya, karena penelitian yang berbeda tersebut maka adat yang digunakan tentu berbeda pula. Beberapa telaah pustaka di atas mengambarkan kawin lari yang sering terjadi saat ini dan wali hakim dalam proses kawin lari sebagai penganti dari wali arqâb yang tidak mau atau enggan menikahkan anaknya.
Sedangkan dalam kasus lahi kawin seorang wanita dan laki-laki yang hendak menikah, akan tetapi orang tuanya dari salah satu pasangan tersebut terutama orang tua perempuan enggan atau tidak mau menikahkannya dengan berbagai macam alasan, namun setelah terjadinya lahi kawin maka mau tidak mau orang tua harus menikahkan anaknya. Dalam adat lahi kawin orang tua mengetahui kapan dan dimana anaknya melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam kawin lari orang tua tidak mengetahui keberadaan anak melaksanakan prosesi pernikahan.
Dengan demikian, dari paparan di atas maka penyusun belum menemukan karya ilmiah yang membahas tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lahi Kawin di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi”, maka dari ini penyusun mencoba untuk membahas permasalahan tersebut sesuai dengan kemampuan yang penyusun miliki.
E.     Kerangka Teoretik 
Hukum adat sudah seharusnya merupakan salah satu pusat perhatian dalam studi hukum dan masyarakat. Sebagaimana dipahami, maka studi hukum dan masyarakat itu menghendaki agar pembicaraan hukum itu senantiasa dikaitkan secara sistematis kepada masyarakat tempat ia berlaku.
Sebagai sebuah sistem yang meliputi segala segi kehidupan manusia, maka Islam tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Ayat-ayat yang mengandung dan mengatur hubungan sesama manusia, misalnya hubungan tentang suami dan istri, orang tua dan anak, pemimpin dan rakyat. Hal ini menunjukkan adanya perhatian Islam terhadap interaksi antar sesama manusia, sebab seperti sudah diketahui bahwa hubungan manusia dengan manusia itu yang berkembang terus menerus yang kemudian yang membentuk masyarakat.
Salah satu yang menjadi syarat dalam perkawinan adalah wali, begitu juga dalam pelaksanaan perkawinan yang menggunakan adat lahi kawin. Wali dalam perkawinan adalah wali bagi calon mempelai perempuan yang menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Seorang wali dapat langsung melaksanakan akad tersebut atau mewakilkannya dengan orang lain.[17]
Prosesi perkawinan adat merupakan perbuatan yang termasuk ke dalam adat (‘urf). Adat dalam Islam diakui sebagai salah satu teori penetapan hukum Islam. Kajian tentang perkawinan adat lahi kawin ini sangat erat kaitannya dengan ‘urf. Pengertian ‘urf adalah sikap dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan manusia secara keseluruhan dalam suatu kelompok masyarakat.
‘Urf sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      ‘Urf ditinjau dari kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syari’ah) ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       ‘Urf yang shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, seperti memesan barang dagangan.
b.      ‘Urf yang fasid, yaitu yang bertentangan dengan syariah, seperti kebiasaan minum-minuman keras saat merayakan pesta kelahiran.
2.       ‘Urf ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, yaitu mengenai adat dan kebiasaan kita, ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       ‘Urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua daerah, Misalnya membayar bis kota dengan tidak menggunakan akad ijab qobul.
b.      ‘Urf yang khusus, yaitu hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja,  Misalnya adat gono-gini dalam adat jawa.[18]
Sementara kajian adat lahi kawin juga sangat erat kaitannya ‘urf fi’li (dalam istilah lain disebut ‘urf amalî) adalah sejenis pekerjaan atau aktifitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial, contohnya adalah penggunaan pakaian adat saat resepsi pernikahan.[19]
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa suatu ‘urf baru bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan nash.
2.      ‘Urf harus berlaku universal.
3.      ‘Urf harus berlaku selamanya.[20]
Lahi kawin dalam masyarakat Desa Rejosari merupakan permasalahan yang muncul dalam hukum Islam, karena tidak ada dalil yang menjelaskan secara pasti terhadap permasalahan tersebut baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Selain qaidah ushul fiqh di atas, dalam membedah pokok permasalahan dalam skripsi ini peneliti juga menggunakan kaidah ushul fiqh yang lain, yaitu Al-Maslahah Mursalah sebagai teori pembedahnya. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Al-Maslahah Mursalah adalah kemaslahatan yang oleh syar‘i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya perbuatan itu.[21]
F.     Metode Penelitian 
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis, dengan maksud untuk mendapatkan info ilmiah mengenai serentetan peristiwa dalam rangka memecakan suatu permasalahannya.  Metode tersebut meliputi:
1.      Jenis penelitian
Penelitian skripsi ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke daerah objek penelitian. Penelitian ini difokuskan pada hasil wawancara penyusun dengan para tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam proses lahi kawin tersebut. Data yang diambil di lapangan merupakan data primer, sedangkan data sekundernya di dapatkan dari beberapa referensi yang pernah membahas dan berkaitan dengan tema penyusunan skripsi ini.
2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini bersikap deskripsi analisis yaitu fakta yang ada disajikan dan selanjutnya dianalisis secara sistematis menurut pandangan hukum Islam. Penelitian ini mencoba untuk memaparkan dan menganalisa sistem hukum adat di lokasi penelitian, khususnya mengenai kasus lahi kawin dan hukuman bagi para pelakunya.
3.      Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalan pasangan suami istri yang melakukan adat lahi kawin, orang tua pelaku dan imam atau pejabat selaku orang yang menerima pelaku ketika melakukan lahi kawin serta tokoh-tokoh lain yang ada relevansinya dengan pembahasan tersebut. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi.
4.      Teknik Pengumpulan Data
Agar data yang diperoleh valid dan akurat maka penyusun mengunakan beberapa teknik penelitian, diantaranya:
a.       Observasi
Penulis mengunakan observasi langsung ke daerah objek penelitian. Disini penyusun mengamati fakta yang ada dilapangan, khususnya yang berhubungan dengan perkawinan adat lahi kawin.
b.      Interview
Dalam metode pengumpulan data atau informasi penyusun melakukan tanya jawab sepihak, hal dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan penyelidikan. Dalam interview ini, penyusun mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui interview guide (pedoman wawancara). Hal ini dingunakan untuk mendapatkan bukti yang kuat sebagai pendukung argumentasi.
c.       Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data-data dan bahan-bahan berupa dokumen. Data-data tersebut dapat berupa letak geografis, kondisi masyarakat adat di Desa Rejosari maupun kondisi adat budaya serta hal-hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
5.      Pendekatan
Dalam penyusunan skripsi ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, yaitu dimana pada dasarnya produk pemikiran hukum merupakan hasil interaksi pembuat hukum, apakah adat lahi kawin ini sesuai dengan sosiologis masyarakat dan ketentuan hukum Islam dengan memperhatikan nash-nash yang ada, serta apakah adat  lahi kawin tersebut mendatangkan banyak implikasi positif atau implikasi negatif dalam hal pelaksanaannya, sehingga sangat ditaati dalam masyarakat adat Desa Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi.
6.      Analisis Data
 Setelah semua data dikumpulkan, maka dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif. Artinya, analisis tersebut ditujukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas dan sifat nyata yang berlaku dalam masyarakat, dengan tujuan untuk dapat memahami kondisi sosio-kultural masyarakat yang dapat mempengaruhi peneraan hukum perkawinan dalam perppektif hukum perdata Indonesia.
G.    Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan agar dapat diuraikan secara singkat, serta mendapat kesimpulan yang benar, maka penyusun membagi rencana spripsi ini menjadi beberapa bab diantaranya adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang diantaranya memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
 Bab kedua dari pembahasan ini menjelaskan tinjauan umum tentang pengertian, dasar hukum, tujuan perkawinan, syarat dan rukun perkawinan serta seputar perwalian dan walimah menurut hukum Islam. Pada bab kedua ini, juga merupakan penjelasan awal yang bertujuan untuk menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat khususnya dalam hal perkawinan menurut hukum Islam secara ideal.
Bab ketiga menjelaskan tentang keadaan masyarakat yang ada di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi secara geografi, sosial, ekonomi dan pendidikan. Kemudian memaparkan pengertian adat lahi kawin serta faktor-faktor terjadinya adat lahi kawin, dan proses pelaksanaan adat lahi kawin. Hal ini dijelaskan untuk mengetahui dengan jelas bagaimana lokasi penelitian dan bagaimana adat lahi kawin menurut masyarakat setempat.
Bab keempat merupakan jawaban dari permasalahan yang terdapat dalam proposal skripsi ini. Pada bab ini juga mendeskripsikan tentang adat lahi kawin, analisis tentang faktor-faktor terjadinya lahi kawin serta analisis hukumnya. Analisis pertama bagaimana hukum Islam melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya lahi kawin tersebut. Hal ini meliputi wewenang orang tua atau wali pihak perempuan dalam kaitannya dengan pelaksanaan walimahan yang terlampau besar sehingga memberatkan dalam perkawinan, sedangkan analisis kedua tentang bagaimana hukum Islam melihat adat lahi kawin sebagai salah satu cara pernikahan.
Bab kelima ini memuat penutup, kesimpulan dan saran atas keseluruhan skripsi dan berbagai lampiran. 



BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERWALIAN 
DALAM ISLAM

A.    Pengertian Perkawinan
Istilah atau kata perkawinan dalam al-Qur’an disebut  زﻮج berarti “pasangan” dan ﻧﮑﺢ berarti “berhimpun”. Dengan demikian, makna perkawinan ialah dua insan menjadi satu kesatuan dalam rangka mewujudkan kebahagian sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Kawin menurut bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri.[1] Perkawinan mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin; pernikahan; pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.[2]
 Adapun makna perkawinan secara defenitif, masing- masing ulama fiqih berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
1.      Ulama Hanafiyyah, mendefenisikan perkawinan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang lelaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan.
2.      Ulama Syāfi’iyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang menggunakan kata nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki. Artinya, dengan perkawinan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3.      Ulama Mālikiyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga.
4.      Ulama Hambaliyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan kata nikah atau tazwîj untuk mendapatkan kepuasan. Artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.[3]
Dalam kamus bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam beberapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin dapat diartikan perjodohan antara laki-laki dengan perempuan untuk menjadi suami istri, sudah beristri (berbini) atau bersuami, dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh.[4]
Sedangkan dalam bahasa melayu (terutama di Malaysia dan Brunei Darussalam), digunakan istilah kahwin yang berarti “perikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan menjadi suami istri” [5]
Perkawinan merupakan  pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup lainnya bahkan segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, firman Allah Swt:
ﺴﺒﺤﻦﺍﻠﺬﻱﺧﻠﻕﺍﻻﺰﻮﺍﺝﻛﻠﮭﺎﻤﻣﺎﺘﻧﺒﺖﺍﻻﺮﺾﻮﻤﻥﺍﻧﻓﺴﮭﻢﻭﻣﻣﺎﻻﻴﻌﻠﻤﻮﻦ[6]
Pernikahan menurut  hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,  perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut Tuhan Yang Maha Esa.[7] Perkawinan merupakan suatu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik secara penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.[8]
Maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut undang-undang tidak terdapat perbedaan prinsipil. Sebab pengertian perkawinan menurut ajaran Islam mempunyai nilai ibadah sedangkan pengertian perkawinan menurut Undang-undang ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[9]
B.     Hukum Perkawinan
Meskipun pada dasarnya agama Islam menganjurkan kepada semua umatnya untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila ditinjau dari keadaan melaksanakannya, atau berdasarkan sebab-sebab (illāhnya) kausanya, maka hukum perkawinan dapat menjadi wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
1.      Perkawinan yang Wajib
Apabila seorang laki-laki dipandang dari sudut fisik (jasmani) pertumbuhannya sudah sangat mendesak dan dari sudut biaya kehidupan telah mampu atau  mencukupi untuk menikah, sehingga kalau dia tidak menikah ada kekhawatiran akan mudah tergelincir untuk berbuat zina. Melakukan pernikahan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindar diri dari perbuatan yang dilarang Allah.
Ulama Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang menyukainya dan takut dirinya terjerumus ke jurang perzinaan jika ia tidak menikah, sedang berpuasa ia tidak sanggup.[10]
2.      Perkawinan yang Sunnah
 Bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Andaikata dia menikah mendapat pahala kalau dia tidak atau belum menikah tidak berdosa.
Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk menikah tetapi butuh perlindung atau nafkah  dari seorang suami maka sunnah baginya menikah.[11]
3.      Perkawinan yang Haram
 Melakukan perkawinan hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan serta tidak mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan menelantarkan dirinya dan istrinya. Begitu juga jika seseorang menikah dengan tujuan menelantarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.
 Al-Qurtubi berpendapat bahwa apabila seorang calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (mas kawin) untuk istrinya atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, haram untuk mengawininya.[12] 
4.      Perkawinan yang makruh
 Perkawinan yang hukumnya makruh bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikannya karena ia kaya, ataupun ia mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
 Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah tetapi ia meragukan dirinya akan mampu mematuhi dan mentaati suaminya dan mendidik anak-anaknya.
 Makruh menikahi pria yang belum mampu mendirikan rumah-tangga dan belum mempunyai niat untuk menikah. Firman Allah Swt:
[13] ﻮﻠﻴﺴﺗﻌﻓﻒﺃﻠﺬﻴﻦﻻﻴﺠﺪﻮﻦﻨﮑﺎﺣﺎﺣﺗﻰﻴﻐﻨﻳﻬﻢﺍﷲﻤﻦﻔﺿﻠﻪ
5.      Perkawinan yang Mubah
 Mubah merupakan hukum asal perkawinan, yaitu suatu perbuatan yang dibolehkan untuk mengerjakannya, tidak wajib juga tidak haram. Bagi laki-laki tidak terdesak alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah, atau alasan-alasan menyebabkan ia harus menikah maka hukumnya mubah.
Ulama Hambali mengatakan bahwa mubah hukumnya, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah.
C.    Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusian. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah di atur oleh syari’ah.
 Adapun tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :
1.      Membentuk Keluarga Yang Sakinah, Mawadah dan Rahmah
 Tujuan utama perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah (ketenangan) cinta dan kasih sayang, tujuan ini dapat dicapai secara sempurna jika tujuan-tujuan lain dapat terpenuhi. Dengan ungkapan lain, tujuan lain adalah sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini.[14] Firman Allah swt:
ﻮﻣﻥﺇﻴﺘﮫ ﺍﻥﺧﻠﻖﻠﮑﻢ ﻣﻥﺃﻧﻓﺳﮑﻢ ﺃﺯﻮﺍﺠﺎ ﻠﺘﺳﮑﻧﻮﺍ ﺇﻠﻴﮭﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﺒﯿﻧﮑﻢ ﻣﻮﺪﺓ ﻮ ﺭﺤﻣﺔ ﺇﻦ ﻓﻰ ﺬﻠﻚ ﻷﻴﺎﺖ ﻠﻘﻮﻢ ﻴﺗﻓﮑﺭﻮﻦ[15]
Yang dimaksud dengan rasa kasih dan sayang adalah rasa tentram dan nyaman bagi jiwa raga dan kemantapan hati menjalani hidup serta rasa aman dan damai, cinta kasih bagi kedua pasangan. Suatu rasa aman dan cinta kasih yang terpendam jauh dalam lubuk hati manusia sebagai hikmah yang dalam dari hikmat Allah kepada makhluk-Nya yang saling membutuhkan.
2.      Memenuhi Kebutuhan Biologis
 Allah menciptakan manusia dalam jenis  kelamin yang berbeda-beda. Yaitu laki-laki dan perempuan, yang keduanya saling mengandung daya tarik biolagis atau seksual.
Dalam dimensi lain, memenuhi kebutuhan biologis merupakan salah satu hikmah yang ada dalam pernikahan, hikmah tersebut antara lain dapat menenangkan hati dan menjaga pandangan, seperti hadist Nabi SAW berikut:
  [16] ﻴﺎﻤﻌﺸﺮﺍﻠﺷﺒﺎﺐﻤﻦﺍﺴﺘﻄﺎﻉﻣﻨﮑﻢﺍﻠﺑﺈﺓﻓﺎﻠﻴﺗﺰﻮﺝﻓﺈﻨﻪﺃﻏﺾﻠﻠﺑﺻﺮﻭﺃﺣﺻﻦﻠﻠﻓﺮﺝ    
3.      Untuk Menjaga Diri dari Perbuatan-Perbuatan yang Dilarang Allah.
 Salah satu faktor yang menyebabkan manusia mudah terjerumus ke dalam kejahatan dan kerusakan ialah pengaruh hawa nafsu dan seksual, dengan tidak adanya saluran yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, biasanya manusia baik laki-laki maupun wanita akan mencari jalan yang tidak halal. Firman Allah:
[17] ﻴﺮﻴﺪﺍﷲﺍﻦﻴﺨﻓﻒﻋﻨﻜﻢﻮﺨﻠﻕﺍﻻﻨﺳﺎﻦﻀﻌﻴﻓﺎ      
4.      Memperoleh Keturunan
 Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa, banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak. Al-Qur’an juga menganjurkan agar mausia selalu berdoa agar dianugerahi keturunan yang menjadi mutiara dalam rumah tangga. Firman Allah Swt:
[18] ﻴﺎﺃﻴﻬﺎﺍﻠﻨﺎﺲﺍﺗﻘﻭﺍﺮﺑﮑﻢﺍﻠﺬﻱﺨﻠﻗﮑﻢﻤﻦﻨﻓﺲﻭﺍﺤﺪﺓﻭﺨﻠﻕﻤﻧﻬﺎﺯﻭﺠﻬﺎﻭﺒﺚﻤﻧﻬﻤﺎﺮﺠﻼﮐﺛﻴﺭﺍ ﻭﻨﺴﺈ

5.      Menumbuhkan Aktifitas Dalam Berusaha Mencari Rezeki Yang Halal Dan Memperbesar Rasa Tanggung Jawab.
Sebelum melakukan perkawinan pada umumnya para pemuda dan pemudi tidak memikirkan soal penghidupan, karena segala sesuatu masih ditanggung oleh orang tua. Suami sebagai kepala kepala rumah tangga mulai memikirkan bagaimana cara mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebaliknya istri memikirkan bagaimana cara mengatur kehidupan rumah tangga [19]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa dalam perkawinan bukan hanya urusan murni ibadah tetapi di dalamnya ada unsur sosial, tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan induktif ). Tujuan perkawinan tersebut harus diletakkan menjadi satu-kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Untuk mencapai tujuan secara sinergis dan konprehensif, dibutuhkan prinsip-prinsip yang harus dipahami dan diamalkan oleh seluruh anggota keluarga.
D.    Rukun dan Syarat Perkawinan
Pernikahan merupakan sunnah nabi SAW yang dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah  serta menjaga seorang laki-laki dan perempuan dari hubungan yang dilarang oleh agama, serta mewujudkan hak dan kewajibannya sebagai suami-istri dalam keluarga. Untuk mewujudkan perkawinan yang sah harus memenuhi beberapa unsur pokok yang harus dipenuhi seperti rukun dan syarat perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi rukun pernikahan itu ialah : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.[20]
Suatu akad perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya  sehubungan akad itu telah diakui oleh hukum syara’. Menurut  Al-ghazali didalam bukunya “Menyingkap Hakikat Perkawinan” ada beberapa persyaratan yang harus dipenuh dalam melaksanakan rukun dalam pernikahan yaitu:[21]
1.      Syarat Calon Suami:
a.       Beragama Islam
b.      Bukan muhrim dari mempelai wanita
c.       Atas kemauan sendiri
d.      Jelas orangnya
e.       Tidak sedang menunaikan ihram haji
2.      Syarat Calon Istri:
a.       Tidak berhalangan syar’I, yakni tidak bersuami, bukan muhrim dari mempelai laki-laki dan tidak sedang menjalani masa iddah
b.      Atas kemauan sendiri
c.       Jelas orangnya
d.      Tidak sedang menunaikan ihram haji
3.      Syarat Wali:
a.       Laki-laki
b.      Baligh
c.       Berakal sehat
d.      Tidak terpaksa
e.       Adil
f.       Tidak sedang menunaikan ihram haji
4.      Syarat Saksi:
a.       Laki-laki
b.      Baligh
c.       Berakal sehat
d.      Adil
e.       Dapat melihat dan mendengar
f.       Tidak terpaksa
g.      Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab dan Kabul
h.      Tidak sedang menunaikan ihram haji
Selain syarat-syarat yang di atas, terdapat syarat-syarat yang juga harus dipenuhi yaitu:[22]
1.      Adanya izin dari wali calon istri, atau wali hakim (apabila tidak ada wali yang sah).
2.      Adanya kerelaan dari calon istri. Hal ini berlaku bagi wanita yang berstatus janda dan telah cukup umur (baligh) atau seorang gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah kandungnya atau kakeknya.
3.      Adanya dua orang saksi, yang dikenal luas sebagai orang-orang baik (‘adîl dan bukan fāsiq).
4.      Adanya lafal ijab dan qabul yang bersambungan tidak terputus antara keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya dengan lafazd ijab dan qabul tersebut.
 Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap syarat-syarat perkawinan ialah:
1.      Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua.
3.      Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.      Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.      Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua yang disebut dalam ayat (2), (3) dan  (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapat, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat member izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6.      Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan menentukan lain. [23]

E.     Perwalian dalam Perkawinan 
Perwalian dalam istilah fiqh ialah penguasaan dan perlindungan, jadi arti perwalian yang dimaksud fiqh adalah  penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. 
Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan dan wewenang syar’I atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.[24]
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan untuk sahnya perkawinan menurut hukum Islam, wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut imam Syafi’i perkawinan tidak sah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan. Sedangkan bagi pihak pengantik laki-laki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya perkawinan tersebut. Demikian juga dengan Imam Malik, beliau berpendapat bahwa nikah tidak diperbolehkan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya nikah.[25]
1.      Syarat Perwalian
Para fuqaha menetapkan syarat bagi seorang wali  yaitu:
a.       Orang mukallaf/baligh
b.      Muslim
c.       Berakal sehat
d.      Laki-laki
e.       Adil, dalam artian teguh dalam menjalankan agama
2.      Urutan Perwalian
Dalam perwalian, Umat Islam di Indonesia menganut madzhab Syafi’i. Adapun tertib wali menurut madzhab Syafi’i ialah : [26]
a.       Ayah
b.      Kakek  dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c.       Saudara laki-laki kandung
d.      Saudara laki-laki seayah
e.       Kemenakan laki-laki kandung
f.       Kemenakan laki-laki seayah
g.      Paman kandung
h.      Paman seayah
i.        Saudara sepupu kandung
j.        Saudara sepupu seayah
k.      Sultan atau hakim
l.        Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan
3.      Macam-macam wali
Orang yang berhak menjadi wali dapat di bedakan adanya 2 macam, yaitu:
a.       Wali nasab
 Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai wanita yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai wanita. Susunan wali nasab adalah:
1)      laki-laki yang menurunkan calon pengantin wanita garis keturunan yang murni yaitu: ayah, kakek dan seterusnya.
2)      laki-laki keturunan dari ayah pengantin wanita dalam garis keturunan laki-laki murni yaitu : saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak-anak dari saudara laki-laki sekandung, anak-anak dari saudara laki-laki seayah dan seterusnya kebawah.
3)      laki-laki keturunan dari ayah atau kakek calon pengantin.
b.      Wali hakim
Wali hakim ialah Pegawai Negri Sipil yang diangkat oleh pemerintah yaitu departemen Agama RI yang menjabat selaku PPN (petugas pencatat nikah) atau kepala KUA Kecamatan yang berhak menjadi wali hakim dalam suatu pernikahan.[27]
Seorang calon pengantin dibenarkan mengangkat wali hakim, apabila keadaan calon pengantin sebagai berikut:
1)      Tidak mempunyai (putus) wali nasab.
2)      Wali tidak diketahui keberadaannya.
3)      Walinya berada di tempat yang jauh (kurang lebih 92,5 km).
4)      Wali berada dalam tahanan atau penjara yang tidak boleh dijumpai.
5)      Walinya sedang melakukan ibadah haji atau umrah.
6)      Walinya adlol artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan putrinya.
4.      Dasar hukum perwalian
      Adanya wali dalam akad pernikahan merupakan rukun, dasar hukumnya adalah firman Allah yaitu:
   [28]ﻮﺍﺬﺍ ﻄﻠﻗﺗﻢ ﺍﻠﻨﺳﺎﺀ ﻓﺑﻠﻐﻦ ﺍﺟﻠﮭﻦ ﻓﻼﺗﻌﻀﻠﻮ ﮬﻦ ﺍﻦﻴﻨﻜﺣﻦ ﺍﺰﻮﺍﺟﮭﻦ ﺍﺬﺍﺘﺮﺍﻀﻮﺍ ﺑﻴﻧﮭﻢ ﺑﺎﻠﻤﻌﺮﻮﻒ
Menurut Kompilasi Hukum Islam wali nikah ada dua macam, yaitu wali nasab yaitu wali yang hak perwaliannya didasarkan oleh adanya hubungan darah. Kedua, wali hakim, yaitu wali yang hak perwaliannya timbul karena orang tua perempuan menolak atau tidak ada atau karena sebab lain. Dalam kaitan perwalian dijelaskan lebuh rinci dalam pasal 19,20,21, 22 dan 23.[29]
Pasal 19: “Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya”.
Pasal 20
Ayat (1): “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan balig”.
Ayat (2): “Wali nikah terdiri dari:a. wali nasab; b. wali hakim”.
Pasal 21
Ayat (1): “Wali nasab terdiri empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari empat kelompok lainnya sesuai urutan susunan kerabat dengan calon mempelai wanita. Pertama kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya, kedua kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki kandung seayah dan keturunan laki-laki mereka, ketiga kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka, keempat kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka”.
Ayat (2): “Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kerabatannya dengan calon mempelai wanita”.
Ayat (3): “Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekeluargaannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah”.
Ayat (4): “Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali”.
Pasal 22: “Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka wali nikah bergeser pada wali nikah yang lain”.


Pasal 23
Ayat (1): “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkan atau tidak diketahui tempatnya atau gaib atau adlal atau enggan”.
Ayat (2): “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut”.
F.     Walimah Dalam perkawinan
Dalam ajaran Islam, resepsi perkawinan lazim disebut dengan walimatūl ’ūrsy. Menurut Az-Zamakhsyari, kata walimah (۱ﻠﻮﻠﻣﻪ) berasal dari kata al-walamu (۱ﻠﻮﻠﻢ) yang berarti tali yang mengikat. Disebut demikian karena walimah diadakan untuk akad yang menghubungkan suami dan istri. Menurut beliau istilah walimah itu berlaku atas setiap makanan yang dihidangkan ketika terjadi peristiwa yang mambahagiakan, namun penggunaannya yang lebih popular adalah untuk perkawinan.[30]
Sedangkan secara bahasa pengertian walimah adalah suatu istilah bagi hidangan dalam pesta perkawinan secara khusus. Maka makan yang dihidangkan untuk peristiwa-peristiwa selain perkawinan pada hakekatnya tidak termasuk dalam pengertian walimah.
Pengertian walimah menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti pertemua atau perjamuan resmi yang diselenggarakan untuk menerima tamu-tamu dalam perkawinan.[31] Pengertian walimah secara umum dapat mencakup segala macam makanan, kenduri, pesta atau jamuan makan untuk memperingati berbagai peristiwa. Pesta atau jamuan makan tersebut, biasanya berhubungan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa yang penting dan menyenangkan dalam kehidupan manusia. Misalnya dalam kelahiran anak, pemberian nama pada anak, khitan, perkawinan, atau hari-hari besar lainnya.
Namun pada perkembangan selanjutnya pengertian walimah menjadi khusus yaitu, berhubungan dengan perkawinan, karena itu sebenarnya perjamuan yang diselengarakan untuk peristiwa selain perkawinan mempunyai istilah masing-masing, dan tidak disebut dengan walimah.
Pelaksanaan walimahan, meskipun bukan merupakan syarat sah perkawinan namun merupakan hal yang sangat penting kedudukannya sebagai sarana untuk menyiarkan adanya perkawinan. Sedangkan menyiarkan perkawinan, sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayyid Sabiq merupakan tindakan yang dipandang baik menurut syara’, agar terhindar dari nikah sirri yang terlarang dan untuk menampakan rasa bahagia apa yang dihalalkan oleh Allah dari segala yang baik.[32]
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakn  maupun yang menghadiri walimah, agar perbuatan itu sesuai dengan nilai-nilai ibadah yaitu :[33]
1.      walimah harus diselenggarkan sesuai dengan kemampuan jangan berlebih-lebihan dan jangan memboroskan hal-hal yang dipandang tidak perlu.
2.      Menyelenggarakan walimah harus dengan ikhlas, jangan mengharap sumbangan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
3.      Tamu-tamu harus disambut dengan rasa hormat dan terima kasih. Jangan membedakan antar yang membawa sumbangan atau yang tidak, ataupun antara yang kaya dan yang miskin.
4.      Menyelenggarakan hiburan diperbolehkan, asal tidak bertentangan dengan dengan ajaran agama.
5.      Para tamu jangan sampai menolak hidangan yang disuguhkan.
6.      Sebaiknya menyelenggarakan walimah diadakan sekali saja.
a.       Hukum melaksanakan walimah
Hukum mengadakan walimah menurut jumhur ulama adalah sunah. Hal ini dipahami dari sabda Nabi yang berasal dari Ibnu Malik yaitu:
[34]ﺃﻭﻠﻢﻮﻠﻭﺒﺸﺎﺓ
Menurut jumhur ulama perintah nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis tersebut tidak mengandung arti wajib, tetapi sunah, karena hanya merupakan tradisi yang hidup di kalangan orang Arab sebelum Islam datang dan melanjutkannya. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui oleh Nabi untuk dilanjutkan dengan sedikit perubahan menyesuaikan dengan tuntutan Islam.
Hukum menghadiri walimah adalah wajib, jadi apabila seseorang menerima undangan untuk menghadiri walimah ia harus datang kecuali kalau ada halangan-halangan tertentu yang benar-benar menyebabkan orang tersebut tidak dapat mendatangi undangan tersebut. Halangan-halangan itu misalnya: sakit, melayat tetangga dekat atau kerabatnya yang meninggalnya bersamaan dengan waktu undangan, dan lain sebagainya.
b.      Himah mengadakan walimah
Adapun anjuran tentang walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahui dan tidak ada tuduhan dikemudian hari.
Walimah adalah perayaan pesta dalam pernikahan. Dikarenakan pernikahan merupaka sesuatu yang membahagiakan dalam kehidupan seseorang maka dianjurkan untuk mengadakan pesta perayaan dan membagi kebahagiaan itu dengan orang lain, dan pesta perayaan pernikahan itu juga sebagai rasa syukur atau pun bagi mereka yang kurang mampu. 


 
BAB III
PRAKTEK DAN TATACARA PELAKSANAAN ADAT LAHI KAWIN
DI REJOSARI, PAMENANG, MERANGIN, JAMBI

A.    Profil Lokasi Penelitian
1.      Keadaan Geografis
Desa Rejosari  adalah sebuah kampung yang terdiri dari beberapa etnis atau suku yang berbeda dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Nama kampung rejosari mempunyai suatu arti yaitu rejo berarti ramai dan sari berarti pusat.
Demi kelancaran dalam menjalankan administrasi pemerintahan maka dibentuklah kepengurusan kelurahan yang terdiri dari:
a)      Kepala Desa                                        : Temon
b)      Seketaris Kelurahan                            : Drs. Sucepto 
c)      Kasi Pemerintahan                              : Tugiman
d)     Kasi Trantib                                        : Ade Tresna
e)      Kasi Pemberdayaan Masyarakat         : Mugimin
f)       Kasi Pembangunan                             : Ahmadi
g)      BPD                                                    : Sumaryadi
h)      Ketua Adat                                         : Sulastito
Selain struktur di atas terdapat juga struktur kepala lingkungan yang terdiri dari:
a)      Lingkungan I              : Parimin
b)      Lingkungan II             : Sariman
c)      Lingkungan III           : Untung Samsudin
d)     Lingkungan IV           : Edi Nuryanto
2.      Monografi Wilayah
Adapun data monografi desa Rejosari adalah sebagai berikut:
a.       Nama Desa      : Rejosari
b.      Kecamatan      : Pamenang
c.       Kabupaten       : Merangin
d.      Provinsi           : jambi
Adapun batas wilayah desa Rejosari adalah sebagai berikut:
a.       Sebelah utara: Pamenang
b.      Sebelah selatan: Sarolangun
c.       Sebelah barat: Kec Renah Pamenang
d.      sebelah timur: Tanjung
3.      Keadaan Demografis/penduduk
Masyarakat Rejosari rata-rata bermata pencarian sebagai petani yaitu berkebun/berladang dengan penghasilan utamanya karet dan kelapa sawit, selain itu sebagian masyarakat juga berprofesi sebagai pegawai, buruh dan peternak sapi. Walaupun demikian masyarakat Rejosari memiliki ikatan emosional yang kuat, khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang berdampak positif bagi warga.
4.      Keadaan Pendidikan dan Beragama
            Adapun fasilitas dan tingkat pendidikan masyarakat desa Rejosari dapat dilihat dalam tabel berukut ini:
Tabel 1
Fasilitas Pendidikan di Rejosari Tahun 2010-2011
No.
Fasilitas pendidikan

Jumlah fasilitas
1.
TK
1
2.
SDN
1
3.
MI
1
4.
SLTP/MTS
-
5.
SMA/MA
-
Sumber: monografi desa Rejosari Tahun 2010-2011
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Rejosari masih minim, hal ini terbukti dengan sedikitnya fisilitas pendidikan yang dimiliki dan kurangnya peran serta pemerintah daaerah dalam memperhatikan fasilitas pendidikan.
Di Desa Rejosari terdapat 1 masjid dan 10 mushalla, selain untuk tempat kegiatan ibadah juga berfungsi sebagai tempat pendidikan dan keagamaan masyarakat seperti pengajian ibu-ibu, majelis ta’lim, serta tempat mempelajari Al-Qur’an dan mengaji.
Kegiatan kehohanian bagi remaja yang sangat berkembang di Rejosari adalah RISMA (Remaja Islam Masjid). Kegiatan yang rutin diadakan adalah kegiatan khotmil Qur’an, kegiatan ini dilaksanakan tiap Minggu pagi.
Selain itu di Rejosari juga terdapat TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), digunakan sebagai tempat mempelajari agama Islam bagi anak-anak usia dini seperti fiqh, tauhid, akhlak, bahasa Arab  dan lain-lain. Waktu pelaksanaan TPA adalah sore hari ba’da ashar.
Di samping itu, para orang tua di Rejosari juga selalu melaksanakan pengajian seperti yasinan yang diadakan rutin tiap Kamis malam untuk bapak-bapak dan Jumat siang untuk ibu-ibu.
5.      Sistem Hukum
Hukum yang berlaku dalam masyarakat Rejosaroi adalah hukum adat, tentu juga berlaku hukum negara, yang berasakan adat basendi syara’, syara’ basendi kitabullah.[1] Ketaatan masyarakat terhadap hukum adat melebihi ketaatan terhadap hukum nasional maupun hukum Islam, walaupun 100% penduduknya beragama Islam. [2]
Adat adalah pegang pakai masyarakat di Desa Rejosari sehari-hari, sesuai seloko adat:
 Kok jago baundo jago,                       Kalau bangun dibawa bangun,
Kok tidoh baundo tidoh.                      kalau tidur dibawa tidur.
Kok bajalan baundo bajalan,              kalau berjalan dibawa berjalan,
Kok duduk baundo dudok.                  kalau duduk dibawa duduk.[3]
Adat atau hukum adat merupakan landasan filosofis masyarakat dalam setiap kegiatannya. Walaupun demikian, hukum adat rasanya sulit untuk dipatuhi oleh masyarakat apabila tidak diimbangi dengan adanya pemangku adat yang menjadi pilar-pilar penegakan hukum adat.
a.      Adat Lembago (Aturan Penduduk Pribumi dan Pendatang)
Adat lembago digunakan pada daerah yang beradat.  Adakalanya adat nan dilambung tinggi lembago nan disintak tuhun (aturan untuk penduduk pribumi yang ditinggikan dan aturan untuk pendatang yang diringankan) dan adakalanya pula lembago nan dilambung tinggi adat nan disintak tuhun (aturan untuk penduduk pendatang yang ditinggikan dan aturan untuk penduduk asli yang diringankan) adat nan tumbuh dateh tumpak lembago nan tumbuh dateh tuang.[4]
Lembago adalah pembedaan status masyarakat antara pribumi atau bukan. Lembago terbagi ke dalam empat kategori, yaitu[5]:
1)   Lembago Jati
Lembago jati merupakan penduduk asli daerah tersebut, dari nenek moyang sampai kepada dia sendiri asli daerah tersebut. Berlaku adat nan dilambung tinggi lembago nan disintak tuhun. Hukumannya adalah yang paling berat di bandingkan dengan jenis penduduk yang lain, hal ini di berlakukan karena dia orang asli mustahil tidak mengetahui adat istiadat daerah sendiri
2)   Lembago Tali
Merupakan perantauan yang telah mendapatkan induk semang dan punya ayah dan atau ibu angkat, lalu menikah dengan gadis desa tersebut melalui perantara orang tua angkat dan atau induk semangnya. Sesuai seloko, karno dibuek tali mako bungo naek kapalok (disebabkan oleh tali maka bunga naik kepala)
3)   Lembago Tambang
Adalah orang perantauan yang menetap di desa tersebut dan terbukti mempunyai perilaku yang baik, karena perilaku baiknya itulah maka dia dijodohkan dengan salah satu anak gadis di desa tersebut, tapi setelah menikah dia kembali ke daerah asalnya dengan membawa istrinya. Hal ini sesuai dengan seloko dagang di ayek nan batambatt dagang di ateh nan bapaut, dagang nan sakali lalu galeh nan sekali nempoh tapi dak ngundo cupak di luah gantang, dak manjang kuteng di ulu, dak pulo ngedang pasak dari tiang.[6] Hal ini sesuai pula dengan pantun adat:
Manuang di dusun baru                                  menuang di dusun baru
Jangan dilantak ka dengan besi                      jangan dilantak[7] dengan besi
Lantak dengan malio-lio                                 lantak(kan saja) dengan lio-lio[8]
Kami dagang nan sakali lalu                          kami merantau sekali lalu
Jangan dimasuk kadalam ati                          jangan dimasuk ke dalam hato
Letak di luah kiro-kiro                         letak di luar (juga) kira-kira (pikir-pikir)
Pisang meh diundo balayeh                            pisang emas dibawa berlayar
Pisang lidi di dalam peti                                 pisang lidi di dalam peti
Mungkin Utang meh dapek dibayeh               mungkin hutang emas dapat dibayar
Kalu utang budi yo nak dibao mati                 kalau hutang budi dibawa mati
4)   Lembago Tuang
Lembaga tuang berarti orang yang menetap di daerah itu hanya sebagai penambah jumlah masyarakat, baik dari segi ekonomis maupun dari segi sosial dan politik. Tipe ini mempunyai ciri-ciri harus tidak merupakan yang hanya menumpang mencari hidup, aleh tempatnyo bapijak sesaknyo nyalang batinggang (alas tempat berpijak sesaknya menjelang dia lepas bebas berdiri), dengan kata lain memang benar-benar mau menetap secara permanen di daerah ini. Sesuai pantun:
Tinggi umput dek padi                                    tinggi rumput dari padi
Dapek mato baliong                                        dapat mata beliung
Untok panyebut setelah awak mati                 untuk penyebut setelah aku mati
Dibuek anak cucong                                       oleh anak cucu
Hukuman pada lembago yang tiga tentang orang perantaauan berlaku lembago nan dilambung tinggi adat nan disintak tuhun, yaitu dengn denda tegoh sapo ninek mamak (tegur sapa nenek mamak) namanya, yaitu paling tinggi seekor kambing salemak samanih dan serendah-rendahnya seekor ayam salemak samanih, hal tersebut dinamakan kuah nan kuneng nasi nan puteh (kuah yang kuning nasi yang putih). Pemberian denda ini sesuai dengan seloko disapo antu demam disapo ninek mamak bautang (ditegur hantu demama, ditegur ninek mamak dihukum).
Perlu dicatat, perbedaan hukuman di atas hanya berlaku bagi pelaku yang melakukan kesalahan yang ringan, sedangkan kesalahan berat disamakan yaitu adat nan dilambung tinggi lembago nan disintak tuhun alias dikembalikan pada aturan yang berlaku dalam empat nan diateh (empat yang di atas) dalam Pucuk Undang nan Delapan.
B.     Pengertian Lahi Kawin
Perkawinan lari menurut Hilman Hadi Kusuma dibagi menjadi dua, yaitu perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama (Belanda: vlucht-huwlijk, wegloop-huwelijk; Batak: mangaluwa; Sumatra Selatan: berlarian; Bengkulu: selarian; Lampung: sebambangan, metadau, nakat, kacak lakei; Bali: ngerorod, merangkat; Bugis: si lariang: Ambon: lari bini) adalah perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita), cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang dan gadis sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama, atau si gadis secara diam-diam diambil pihak bujang dari tempat kediaman pihak si gadis dan segala sesuatunya berjalan menurut tata-tertib adat berlarian. Yang kedua adalah perkawinan lari paksaan (Belanda: schaak-huwelijk: Lampung: dibembangkan, ditekep, ditenggang; Bali: melegandang) adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak ada persetujuan si gadis dan tidak mengikuti tata tertib berlarian.[9]
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan. Aturan-aturan hukum adat disetiap daerah berbeda-beda, dikarenakan sifat kemasyarakatan yang berbeda pula. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, jadi walaupun sudah berlaku undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh warga Indonesia, namun diberbagai daerah dan berbagai golongan masyarakat juga masih berpegang pada hukum adat, apalagi undang-undang hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, tidak mengatur hal-hal khusus daerah tersebut.
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Desa Rejosari ada lima macam tata-cara perkawinan. Pertama duduk betunang, yaitu perkawinan yang menggunakan upacara adat yang sempurna. Proses perkawinan yang seperti ini sama-sama sudah disetujui oleh keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin perempuan. Proses pernikahan ini biasanya sama dengan pernikahan pada umumnya. Kedua beciri tuo, yaitu proses pernikahan yang masih ada ikatan famili. Bedanya dengan duduk betunang perkawinan ini lebih ringkas karena terjadi didalam satu suku sehingga menghapus beberapa ritual yang ada dalam duduk betunang, seperti tidak dihadiri oleh tetua adat. Ketiga kawin selaju berelek yaitu perkawinan yang dari proses peminangan hingga pernikahan tidak memiliki jeda waktu yang lama. Proses perkawinan ini biasanya dilakukan karena laki-laki dan perempuan sudah berzina atau hamil sebelum adanya pernikahan. keempat kawin salah bujang gadis, yaitu perkawinan yang pada dasarnya tidak dikehendaki oleh salah satu atau kedua belah pihak. Perkawinan ini terjadi apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan ditempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani, yang kemudian ditangkap atau digrebek. Pasangan yang tertangkap ini wajib dinikahkan dan didenda adat bagi keduanya. Kelima lahi kawin, yaitu larinya seorang laki-laki dan perempuan dengan didampingi oleh orang lain yang tidak terhitung saudara untuk mengadakan pernikahan tanpa adanya peminangan seperti lazimnya, untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama Islam.
Pengertian lari kawin  yang penulis dapatkan dalam penelitian di masyarakat Rejosari meliputi:
Menurut bapak Sulastito, lahi kawin berasal dari kata lahi (disebagian daerah jambi menyebutnya dengan belarian) yang berarti lari, sedangkan kawin diartikan nikah atau pernikahan, karena dalam pelaksanaan lari kawin tersebut pelaku berlarian dari rumah kediamannya menuju ketempat pak imam atau pegawai syara’. Di samping itu lahi kawin dilakukan dengan menggunakan tata-cara tertentu, misalnya harus mengajak seorang kerabat atau teman dalam proses lahi kawin tersebut.[10]
Lahi kawin dalam istilahnya juga bisa disebut perkawinan lari bersama, perkawinan ini dilakukan gadis yang berlarian ke tempat pemuka adat, kemudian pihak bujang mengadakan pertemuan kerabat, dan mengirim utusan untuk menyampaikan permohonan maaf dan memohon penyelesaian yang baik dari pihak kerabat perempuan, lalu diadakan perundingan dengan mengikuti tata tertib adat berlarian setempat.[11]
Lahi kawin (kawin lari) adalah larinya pria dan wanita dengan ditemani seorang kerabat atau teman untuk melakukan perkawinan tanpa adanya peminangan terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan adat lahi kawin di Rejosari terjadi karena memang sudah sama-sama ada kesepakatan antar pihak pria dan wanita. Lahi kawin itu sendiri itu dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua, baik dari pihak orang tua laki-laki maupun perempuan, dan lahi kawin dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh masyarakat umum.[12]

C.    Faktor Penyebab Terjadinya Lahi Kawin
Perkawinan dengan cara lahi kawin ini dilakukan guna menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan atau yang disebut dengan duduk betunang, karena pekawinan yang mengunakan adat duduk betunang biasanya memakai biaya yang sangat besar. Disamping itu, lahi kawin juga terjadi akibat tidak adanya restu dari pihak orang tua yang tidak mau menikahkan anaknya.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lari kawin di Rejosari diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Ekonomi
Masyarakat Rejosari merupakan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, dan dari segi ekonomi masyarakat Rejosari tergolong pada masyarakat yang berekonomi menengah kebawah, maka ketika ada muda-mudi yang akan melaksanakan pernikahan mereka cendrung memilih lari kawin dengan tujuan terbebas dari kewajiban-kewajiban adat berelek.
Pengertian berelek adat menurut bapak Temon Selaku Kepala Desa Rejosari adalah: pesta perkawinan adat jambi yang beradat duduk betunang. Pesta perkawinan ini harus melalui semua jenis seremoni adat, mengundang para keluarga dan seluruh pemuka adat. Pesta adat ini memakan banyak waktu, karena waktu pelaksanaan adat duduk bertunang dilaksanakan dua hingga  tiga minggu dengan biaya yang cukup besar salah satu syaratnya adalah memotong kerbau dirumah pihak calon pengantin wanita. Pesta ada ini biasa diadakan oleh orang yang mampu dari segi materi.
            Tata cara dan tahapan ceremoni upacara adat duduk betunang seperti dijelaskan bapak Sulastito adalah sebagai berikut:
a.       Tahap Perkenalan
Bila seorang jejaka merasa tetarik pada seorang gadis maka jejaka tersebut akan mencari cara agar dapat mendekati si gadis. Pada saat acara itu jejaka tersebut bersama keluarganya melakukan rasan, yakni menilai gadis tersebut memang sesuai dengan pilihannya.
b.      Tahap Mengirim Utusan/Merasan
Tahap berikutnya, dari pihak orang tua laki-laki menyuruh keluarga salah seorang terdekat yang dipercayain untuk menjajaki atau datang merasan kepihak keluarga perempuan. Apabila rasan dari pihak laki-laki diterima maka keluarga pihak laki-laki dan perempuan memanggil suku nan duo untuk mengabarkan rasan yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan.
c.       Berunding anak kemenakan dilamar orang
Pada tahap ini orang tua dari perempuan datang kerumah tenganai selaku mamak anak, mengabarkan bahwa anak perempuannya dirasan laki-laki dari salah satu suku. Kemudian tenganai menyuruh keluarga pihak perempuan untuk mengundang suku nan duo, yaitu pardu sikso dan pardu wali yang tercakup dalam nenek empat puyang delapan untuk berunding. rundingan ini yang menentukan diteruskannya rasan tersebut ketahap lamaran.
d.      Bekampung duduk betunang
Pada tahap ini pihak laki-laki yang rasannya diterima akan datang melamar. Prosesi ini disaksikan oleh suku nan duo yaitu pardu sikso dan pardu wali yang tercakup dalam nenek empat puyang delapan, jiran, ipar bisan, suku dekat suku jauh, sanak kadang, atehnyo kampung yang betuo, dan adat dengan syaraknya. Barang hantaran lamaran ini biasanya beras segantang, selemak-semanis (bumbu-bumbu) dan emas dua mayam atau setara dengan 14 gram. Dalam prosesi ini juga berunding mengenai besaran telimak yang diminta pihak perempuan serta lamanya bertunangan atau jena waktu menuju pernikahan.
e.       bekampung menyemua banyak
Pada tahap ini, segala suku induk, anak kadang, suku nan duo dari pihak laki-laki bergotong royong mengantarkan padi kerumah orang perempuan yang akan mengadakan pesta pernikahan, termasuk mengantarkan telimak yang diminta keluarga perempuan.


f.       bekampung menyerah lek (pesta pernikahan)
Dalam melaksanakan upacara ini pihak yang mengadakan pesta harus mengundang suku nan duo, nenek empat puyung delapan, jiran, suku dekat, suku jauh dalam kampung laki-laki dan perempuan, adat dan syarat. Selanjutnya pihak laki datang kerumah mempelai perempuan, kemudian juru bicara rombongan pihak laki-laki menanyakan sekali lagi kesediaan mempelai perempuan untuk menikah dengan laki-laki tersebut. Tanya jawab tersebut dilakukan oleh perwalikan lari kedua belah pihak keluarga didepan rumah mempelai perempuan dengan berpantun.
2.      Faktor tidak adanya restu dari pihak orang tua
Wewenang orang tua atau keluarga dalam menentukan calon suami bagi perempuan atau istri bagi laki-laki berpengaruh pada adat Lahi Kawin, karena biasanya orang tua masih mempertimbangkan bibit, bobot serta bebet menurut kehendak mereka. Adakalanya orang tua mengetahui bahwa anak perempuannya di bawa lari oleh pihak laki-laki kemudian dari orang tua ada yang mau menikahkan anaknya dan ada juga orang tua yang tidak mau menikahi anaknya, artinya adat lahi kawin disini adakalanya diketahui oleh orang tuanya, dan adakalanya orang tua tidak mengetahui. Di lain pihak perbedaan pandangan  antara orang tua dan anak biasanya menjadi salah satu faktor terjadinya adat lahi kawin, karena pelaku tidak disetujui oleh orang tua, oleh karena itu dalam adat lahi kawin terkadang terjadi karena wali tidak mau menikahkan anaknya.
Terjadinya adat lahi kawin menunjukan keinginan laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan, karena hubungan asmara baik bujang ataupun gadis tidak disetujui oleh kedua belah pihak orang tua, faktor lain adalah pihak  gadis sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Hal itu menyebabkan pemberontakan terhadap kekuasaan orang tua yang berakibat laki-laki dan perempuan melakukan adat lahi kawin.
D.    Tata Cara Pelaksanaan Lari Kawin 
Tradisi lahi kawin di Desa Rejosari dilakukan muda-mudi setempat terkadang membuat orang tua mereka kaget apabila mendengar anaknya lahi kawin. Karena biasanya pasangan yang melakukan lahi kawin sudah sama-sama saling suka, cinta, dan mantap dengan pilihannya.
Tata cara pelaksanaan adat lahi kawin yaitu dengan cara laki-laki bersepakat dengan seorang perempuan yang disukainyapergi ke rumah imam atau tetua adat didampingi orang yang mereka percaya dengan tanpa sepengetahuan orang tua mereka terutama orang tua perempuan. Lahi kawin ini sering dilakukan pada malam hari ketika orang sudah tidur dan sepi, sehingga tidak banyak orang yang mengetahui, sesuai dengan sluko adat bejalan kelam bulan, besuluk batang pisang, melayang berbiduk penggal serong, bejalan pintas sepinggal.[13]
Ketika pasangan melakukan lahi kawin datang kerumah imam atau pegawai syara’, bapak imam atau pengawai syara’ selaku orang yang menerima pelaku lari kawin terlebih dahulu memproses pasangan tersebut karena tidak semua pelaku lahi kawin diterima. Adapun alasan sang imam atau pegawai syara’ menolak pasangan yang melakukan lahi kawin diantaranya:
1.   Salah satu atau kedua dari calon mempelai belum cukup umur.
2.   Ada unsur paksaan dari orang lain.
3.   Pelaku lari kawin berbeda agama.[14]
Sedangkan jika tiga hal tersebut diatas tidak ada, maka imam atau pegawai syara’ akan menerima pasangan yang melakukan lahi kawin. Setelah imam atau pegawai syara’ telah menerima mereka dikediamannya, maka imam menyuruh calon mempelai laki-laki untuk pulang untuk memberitahukan perbuatannya kepada keluarga sigadis dan meminta maaf, biasanya hal ini dilakukan oleh keluarga calon pengantin laki-laki, dengan mengatakan bahwa “sayo ko lah babuek salah kareno sayo lah melahikan anak gadih bapak, dan sayo tarok di umah pak imam Ahmad. Kini ko sayo meminta bapak menikahkan sayo dengan anak gadih bapak”. maksud dari penyataan tersebut adalah “saya ini telah bertindak dan berbuat salah dan saya mengakui kesalahan saya karena saya telah melarikan anak gadis bapak dan saya tempatkan di rumah imam Ahmad (misalnya), artinya saya sebenarnya walaupun salah saya berniat dan beri’tikad baik ingin menikah dengan anak gadis bapak”.
Proses ini biasanya terjadi selama 1 sampai 3 hari, jika dalam waktu tiga hari belum ada jawaban dari masing-masing keluarga, maka sang imam ataupun pengawai syara’ menemui keluarga kedua belah pihak untuk membicarakan mengenai kelanjutan hubungan anak mereka dan kapan pelaksanaan akad nikah, serta kesediaan orang tua untuk menikahkan anak gadisnya. Apabila tidak ada tanggapan juga dari kedua belah atau salah satu pihak terutama pihak perempuan, maka sang imam atau pegawai syara’ mengambil alih jabatan orang tua untuk memproses pernikahan pasangan tersebut.  Apabila kedua belah pihak sudah sepakat dan setuju, maka perempuan tersebut harus dijemput oleh keluarganya dari rumah imam atau pegawai syara’.
E.     Implikasi Pelaksanaan Lahi Kawin
Menurut masyarakat Rejosari, terdapat beberapa implikasi dalam pelaksanaan adat lahi kawin. Secara garis besar terdapat dua implikasi, yaitu implikasi positif dan implikasi negatif seperti dipaparkan dibawah ini:
1.      Implikasi Positif 
a.     Meringankan biaya pernikahan.
Salah satu alasan terjadinya lahi kawin adalah pelaksanaan adat duduk betunang keluarga perempuan meminta teliman yang terlalu besar sehingga tidak dapat dipenuhi oleh keluarga mempelai laki-laki. Dengan terjadinya lahi kawin, permintaan teliman gugur dengan sendirinya. Diganti dengan denda adat yang besarannya tidak melebihi teliman yang diminta keluarga si-gadis. Disamping itu, lahi kawin juga meringkas waktu pelaksanaan pernikahan yang biasanya mengunakan prosesi adat yang panjang, lahi kawin dihukum dengan tidak boleh melakukan pesta perkawinan.
b.    Ada kesepakatan antara kedua belah pihak (antara bujang dan gadis)
Pihak bujang dan gadis sudah sama-sama saling mencintai dan sepakat untuk melaksanakan lahi kawin. Oleh karena itu dalam melangsungkan pernikahan mereka didasari oleh rasa suka satu dengan lainnya. Berbeda dengan duduk betunang yang kebanyakan dari mereka menikah atas paksaan dari orang tua atau tergiur teliman pemberian laki-laki.
2.      Implikasi Negatif 
a.       Menimbulkan kesalahpahaman antara pihak keluarga bujang dan gadis.
Lahi kawin yang sepakat dilakukan oleh bujang dan gadis tentunya tanpa sepengetahuan pihak kedua belak keluarga, hal ini yang kemudian berpotensi untuk memanaskan situasi sehingga hubungan dua keluarga menjadi salah paham.
b.      tidak ada persetujuan dari pihak orang tua.
Dalam melaksanakan pernikahan khususnya di Rejosari orang tua biasanya menimbang bebet bobot dari calon anak mantu yang mereka pilih untuk anak mereka. Oleh karena itu terkadang ketika ada bujang dan gadis yang saling mencintai tidak serta merta disetujui oleh keluarga mereka, disinilah timbul niat dari bujang dan gadis untuk melaksanakan lahi kawin untuk menghindari orang tua yang tidak menyetujui hubungan mereka.

 
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT LAHI KAWIN DI REJOSARI, PAMENANG, MERANGIN, JAMBI

A.    Analisis Hukum Islam Terhadap faktor terjadinya Adat Lari Kawin.
Pada BAB III, penyusun telah menguraikan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya adat lahi kawin. Penyusun juga menguraikan kondisi secara keseluruhan wilayah baik ditinjau dari letak geografis dan adat masyarakat. Pada bab ini penyusun membahas pandangan hukum islam tentang adat lahi kawin berikut dengan faktor-faktor penyebab terjadinya adat lahi kawin.
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Desa Rejosari ada lima macam tata-cara perkawinan. Pertama duduk betunang, kedua beciri tuo, ketiga kawin selaju berelek, keempat kawin salah bujang gadis, kelima lahi kawin. Seperti yang sudah penulis jelaskan pada Bab III tentang pelaksanaan adat lahi kawin, maka pada bab IV penulis menganalisis tentang tata cara dan faktor yang menyebabkan adat lahi kawin terjadi serta kaitannya dengan hukun Islam.
1.         Faktor ekonomi
Masyarakat Rejosari merupakan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, dari segi ekonomi masyarakat disini lebih tergolong pada masyarakat yang berekonomi menengah kebawah, maka ketika ada muda mudi yang akan melaksanakan pernikahan mereka cenderung melaksanakan pernikahan lari atau lahi kawin. Lahi kawin dilakukan oleh pasangan muda mudi yang akan melaksanakan hubungan pernikahan tetapi tidak mempunyai banyak biaya untuk melaksanakan berelek[1] adat. Berelek adat sendiri lebih erat kaitannya dengan walimah dalam Islam, karena berelek merupakan pesta perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang melakukan pernikahan melalui pertunangan dan tata-cara adat lebih dahulu.
            Dalam kaitannya dengan hukum Islam, adat berelek yang menyebabkan terjadinya lahi kawin tidak lepas dari pesta pernikahan atau walimahan dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam ketika kita akan melaksanakan perayaan nikah atau walimah disarankan agar sesuai  dengan kemampuan orang yang menikah, dan dalam ajaran Islam tidak menganjurkan perayaan perkawinan dengan berlebih-lebihan, sesuai kemampuan bagi yang melaksanakannya seperti dalam hadist Nabi yaitu:
[2]ﺃﻭﻠﻢﻭﻠﻭﺑﺷﺎﺓ
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa ketika akan melangsungkan pesta pernikahan atau walimah, walaupun hanya menggunakan 1 ekor kambing, maka pesta perkawinan sudah dapat dilaksanakan. Dalam peryaan pesta perkawinan, Islam memang tidak melarang pelaksanaan kebiasaan yang berlaku, sejauh tidak bertentangan dengan Islam, akan tetapi Islam tidak memperbolehkan melaksanaka walimah secara berleihan dan dari hal tersebut bisa menimbulkan kemudharatan. Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat dipertahankan bahkan dilestarikan sepanjang tidak meyalahi prinsip ajaran Islam, apabila adat kebiasaan yang berhubungan dengan walimah tersebut bertentangan dengan syari’at Islam, maka adat tersebut harus ditinggalkan.
Dalam ajaran Islam banyak ditemukan ketentuan yang memaparkan tentang kesederhanaan dan melarang perbuatan yang berlebuhan, seperti firman Allah Al-A’raf Ayat 3:
[3]ﻮﮐﻠﻮﺍﻭﺍﺷﺭﺒﻭﺍﻭﻻﺗﺴﺭﻓﻭﺍﺇﻨﻪﻻﻴﺣﺐﺍﻠﺴﺭﻓﻴﻦ
            Dalam ayat tersebut telah dijelaskan bahwa ketika melaksanakan segala sesuatu tidak boleh berlebihan, begitu juga kaitannya dengan pelaksanaan walimah. Dalam ajaran syariat Islam mengadakan acara walimah tidak diharuskan menggunakan biaya yang besar, syariat Islam mengajarkan tidak perlu memaksakan diri diluar kemampuan yang ada serta berlebihan dalam melaksanakan walimah, sesuai dengan firman Allah:
[4]ﻴﺮﻴﺪﺍﷲﺒﮑﻢﺍﻠﻴﺴﺭﻭﻻﻴﺭﻴﺪﺑﮑﻢﺍﻠﻌﺴ
Islam merupakan agama yang sempurna, terbukti dengan ayat diatas yang menyatakan bahwa, sebenarnya Allah tidak menghendaki kesulitan melainkan menghendaki kemudahan dalam berbagai hal, begitu juga dengan pelaksanaan walimah, dalam ajaran Islam tidak diatur secara rinci bagaimana pelaksanaan walimah. Tetapi pelaksanaan walimah dalam Islam tidak boleh memberatkan kepada siapa saja yang akan melaksanakannya.
Dalam analisa penyusun berkesimpulan bahwa alasan terjadinya lahi kawin di Rejosari dikarenakan pesta perkawinan adat berelek yang terlalu besar menggunakan biaya pada perayaan pesta pernikahan dan harus menggunakan syarat-syarat lain yang memberatkan, sehingga masyarakat pada umumnya tidak sanggup untuk melaksanakan pesta adat tersebut. Berbeda dengan ajaran Islam yang hanya menganjurkan pada perayaan pesta pernikahan sudah dapat dilaksanakan dengan menggunakan 1 ekor kambing, karena yang terpenting dari semuanya itu adalah subtansi dari walimah tersebut. Perlunya menyebarkan berita gembira kepada masyarakat atas terjadinya suatu pernikahan dan dalam mengadakan walimahan tersebut Islam menganjurkan tidak perlu memaksakan diri diluar kemampuan yang ada.
2.      faktor tidak adanya restu dari pihak orang tua
      Perkawinan adalah peristiwa yang sakral dalam kehidupan seseorang, maka restu orang tua adalah sangat penting bagi setiap orang yang akan melakukan pernikahan. Restu orang tua merupakan bagian dari upaya membina keluarga bahagia, sakinah dan rukun. Bila terjadi masalah dan tidak ada kecocokan dengan orang tua, maka upaya yang akan ditempuh adalah dengan jalan damai dan musyawarah. Orang tua pun harus menyadari keinginan anaknya untuk menikah dengan cara yang sah adalah suatu sikap terpuji, supaya mereka tidak terjerumus kedalam perzinahan.
Wewenang orang tua atau keluarga dalam menentukan calon suami bagi perempuan atau istri bagi laki-laki berpengaruh pada adat lahi kawin, karena biasanya orang tua masih mempertimbangkan bibit, bobot serta bebet menurut kehendak mereka. Adakalanya orang tua yang mau menikahkan anaknya ada juga orang tua yang tidak mau menikahkan anaknya. Dilain pihak paradigma berfikir yang ada antara orang tua dan anak biasanya menjadi salah satu faktor terjadinya adat lahi kawin, karena hubungan antara pelaku lahi kawin tidak disetujui oleh orang tua. Oleh karena itu dalam adat lahi kawin terkadang terjadi wali tidak mau menikahkan anaknya.
Dalam menentukan pasangan hidup setiap orang berhak memilih untuk menentukan pasangan hidup yang akan mereka pilih untuk menuju kejenjang pernikahan. Tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawadah, warrahmah, oleh karena itu pihak orang tua yang akan menikahkan anaknya hendaknya tidak memaksakan kehendak menurut kriteria yang akan mereka pilih, karena pada hakekatnya persetujuan calon mempelai yang akan melakukan pernikahan sangatlah penting karena mereka yang akan menjalani kehidupan rumah tangga, sesuai dengan hadis Nabi Saw disebutkan bahwa:
[5]ﻻﺗﻧﮑﺢﺍﻷﻴﻢﺤﺗﻰﺗﺴﺗﺄﻤﺮﻭﻻﺗﻨﮑﺢﺍﻠﺒﮑﺮﺤﺗﻰﺗﺴﺗﺄﺫﻥﻗﺎﻠﻭﺍﻴﺎﺭﺴﻭﻞﺍﻠﻠﻪﻭﮐﻴﻒﺇﺫﻨﻬﺎﻗﺎﻞﺃﻦﺴﮑﺕ    Berdasarkan hadis diatas yang paling menentukan dalam pernikahan adalah kesediaan calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan, bila terkait dengan adat lari kawin yang terjadi di Rejosari maka wewenang orang tua untuk menikahkan anaknya merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, karena hal tersebut sudah melanggar hak dari gadis yang akan dinikahkan.
Fenomena adat lahi kawin yang terjadi pada masyarakat Rejosari merupakan bentuk adat yang sudah terjadi sejak zaman dahulu dan turun temurun hingga sekarang. Ketika adat lahi kawin sudah selesai dilaksanakan maka diadakanlah pelaksanaan pernikahan secara agama dan peraturan yang berlaku di Indonesia, maka dalam pelaksanaan pernikahan tersebut tidak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, seperti adanya calon istri dan suami, wali nikah, dan adanya ijab qobul, pelaksanaan ijab qobul dalam pernikahan merupakan salah satu rukun, dalam pelaksanaan lahi kawin  di Rejosari, hal yang kadang terjadi pada adat lahi kawin yang terjadi di Rejosari adalah wali tidak hadir dalam pelaksanaan ijab qobul, maka kedudukan wali digantikan oleh wali hakim dalam hal tersebut digantikan oleh imam masjid atau pegawai syarak.
Dalam hasil analisa, penyusun berkesimpulan bahwa penggunaan wali dalam memberikan perizinan dan ketidak hadiran wali akad nikah dalam kasus lahi kawin tidak berpengaruh sedikitpun terhadap sahnya perkawinan atau mengakibatkan nikahnya menjadi batal, karena di dalam lahi kawin syarat sahnya pernikahan masih dipenuhi secara keseluruhan. Dalam lahi kawin masih memenuhi rukun-rukun yang ada dalam perkawinan, meski wali memberikan perizinan dengan keterpaksaan, hal itu tidak berpengaruhi terhadap berlangsungnya pernikahan.
B.     Analisis Hukum Islam Terhadap Hukum Adat Lahi Kawin di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi.
Perkawina n di Indonesia tidak dilihat sekedar sebagai hubungan kontraktual antara laki-laki dan perempuan saja. Hukum Islam memandang perkawinan sebagai sebuah institusi yang terdiri dari tiga unsur yaitu : legal, sosial dan agama.[6]
Agama sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk hukum apabila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Karena adat pada esensinya dipahami sebagai norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Adat kebiasaan yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat selama kebiasaan tersebut tidak mendatangkan kerusakan atau menyalahi norma umum dan ajaran agama maka adat dapat diterima dan berjalan terus sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan hukum. Dalam adat lahi kawin yang terjadi di Rejosari, adat tersebut telah ada sejak dahulu dan masih dilestarikan hingga sekarang, bila fenomena tersebut dikaitkan dengan hukum Islam maka fenomena adat tersebut tidak lepas dari adanya ‘urf.
‘Urf yaitu sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat. ‘Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial, yaitu kalangan awam dari mayarakat dan kelompok elite mereka. Hal ini berbeda dengan ijma’, karena sesungguhnya ijma’ terbentuk dari kesempatan dari para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur dalam membentuknya.
Pada umumnya seorang  mujtahid menetapkan hukum berdasarkan ‘urf yang berkembang pada zamannya di mana seandainya ia berada pada zaman yang lain dengan ‘urf yang baru, niscaya ia akan mengeluarkan pendapat bahwa seorang mujtahid harus mengenali adat-adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat dimengerti kalau banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda lantaran perbedaan zaman.
‘Urf sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      ‘Urf ditinjau dari kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syari’ah) ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       ‘Urf yang fasid atau ‘urf yang batal, yaitu yang bertentangan dengan syariah, seperti kebiasaan minum-minuman keras saat merayakan pesta kelahiran.
b.      ‘Urf yang shahih atau Al-Âdah al-shahihah yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, seperti memesan barang dagangan.
2.      ‘Urf ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, yaitu mengenai adat dan kebiasaan kita, ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       ‘Urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku untuk semua orang disemua negeri, Misalnya membayar bis kota dengan tidak menggunakan akad ijab qobul.
b.      ‘Urf yang khusus, yaitu hanya berlaku disuatu daerah tertentu saja,  Misalnya adat gono-gini dalam adat jawa.[7]
Para ulama ushul fikih sepakat bahwa suatu ‘urf baru bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan nash yang qad’î.
2.      ‘Urf harus berlaku universal. Tidak dibenarkan ‘urf yang menyamai ‘urf lainnya, karena adanya pertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meninggalkan.
3.      ‘Urf harus berlaku selamanya. Tidak dibenarkan ‘urf yang datang kemudian.[8]
Berkait dengan keterangan ‘urf diatas, terdapat kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
[9]ﺍﻠﻌﺎﺪﺓﻣﺤﮑﻣﺔ
Adapun syari’at Islam bukan untuk batas waktu tertentu, bukan untuk bangsa dan tempat tertentu tetapi bersifat universal, untuk seluruh alam. Karena itu kaidah-kaidah hukumnya bersifat umum, prinsip dan pokok-pokok saja yang disebutkan dan diberi kesempatan kepada ilmuan bidang hukum dan sosial ditempat masing-masing untuk menguraikannya lebih lanjut dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul di daerahnya masing-masing. Hendaknya hukum mengakomodasi problematika masyarakat seiring dengan perkembangan zaman. Dengan ini, akan tercermin fleksibilitas dan elastisitas proses pembentukan suatu hukum, Islam merupakan agama yang dinamis dan sesuai dengan perkembangan zaman termasuk dalam masalah hukum. Lebih lanjut lagi apabila hukum itu ditetapkan berdasarkan adat, maka dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu dan tempat, karena perbedaan keinginan manusia. Adat perkawinan yang ada pada masyarakat Rejosari merupakan adat yang ada sejak zaman dulu, dan masih dipertahankan hingga sekarang, oleh karena itu ketika ada pemuda dan pemudi yang akan menikah maka mereka pasti menggunakan cara pernikahan adat yang berlaku di Rejosari.
Ketetuan adat lahi kawin ini tidak diatur dalam Islam secara jelas oleh karena itu untuk memandang apakah adat semacam ini dibenarkan atau tidak, maka yang harus ditinjau adalah bentuk maslahah dan mafsadat. Hal ini merupakan peraturan adat yang berlaku dan berkembang dimasyarakat Rejosari, maka adat lahi kawin merupakan adat yang diperbolehkan, karena pada dasarnya asal dari sesuatu hukumnya mubah, sehingga ada dalil yang mengharamkannya, hal berkaitan dengan kaidah ushūl fiqh  yaitu:
[10] ﺍﻻﺼﻞﻓﻲﺍﻻﺷﯿﺈﺍﻻﺒﺎﺤﺔﺣﻲﯿﺪﻞﺍﻠﺩﻠﻴﻞﻋﻠﻲﺍﻠﺘﺤﺮﻴﻢ
Pada pelaksanaan adat lahi kawin tidak ada pelaksanaan pertunangan terlebih dahulu, sedangkan menurut Islam sebelum pernikahan dianjurkan mengunakan pertunangan terlebih dahulu, agar kedua calon mempelai dan kedua keluarga bisa saling menjalin silaturahmi dan mengenal lebih jauh dengan adanya ta’aruf. Dalam pelaksanaan adat lahi kawin rentan terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma sosial, seperti halnya adanya pemaksaan dari pihak bujang terhadap pihak gadis untuk pergi dari rumahnya, pihak bujang melarikan gadis lebih dari satu hari, hal ini bisa menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka belum mempunyai ikatan yang resmi sebagai suami istri. Hal ini terkait dengan kaidah ushūl al-fiqh yaitu:
  [11]ﺍﻠﺿﺭﺭﻴﺯﻞ
Makna yang terkandung dalam konsep kaidah ini, yang secara emplisit memotifasi kita untuk menbuang jauh-jauh semua bahaya, baik bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Bahaya yang berwujud kesusahan, kesulitan atau kesempitan, baik didunia maupun di ahirat, sebisa mungkin harus disingkirkan, walaupun demikian bukan berarti kegala kemudahan dan kenikmatan bisa direngkuh. Sebab bisa jadi yang kita anggap baik atau maslahah ternyata berdampak negatif atau mafsadah bagi orang lain, bagi agama, bahkan bagi diri sendiri.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa adat lahi kawin tersebut kadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaannya. Cara yang dikakukan kurang sesuai dengan ajaran Islam dan adat lahi kawin. Katakan bahwa adat lahi kawin tidak diberlakukan pada semua wilayah, maka dapat dikatakan bahwa adat tersebut tidak berlaku universal dan tidak terdapat dalam nās. Oleh karena itu adat lahi kawin tidak memenuhi syarat ‘urf yang dapat dijadikan sumber penetapan hukum, maka dapat disimpulkan ketika dilihat dari segi kebasahannya adat lahi kawin dalam masyarakat Rejosari termasuk kategori al-‘urf al-fāsid.
Disisi lain, masyarakat Rejosari sangat mentaati hukum adat yang berlaku di daerah setempat termasuk dalam hal pelaksanaan perkawinan, seperti yang sudah dijelaskan pada bab III adat lahi kawin sebagian dilaksanakan karna faktor ekonomi, karena msyarakat Rejosari termasuk masyarakat yang berekonomi menengah kebawah, maka faktor biaya merupakan salah satu penghambat untuk mengadakan pesta pernikahan dengan adat duduk betunang. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan, jika tinjauan dri segi ekonomi masyarakat maka adat lahi kawin tersebut bisa juga membawa kepada kemaslahatan bagi masyarakat di Rejosari.
Dalam mencetuskan hukum baru, fenomena budaya bukanlah sebuah dalil yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, melainkan “sekedar ornament” untuk meligitimasi hukum-hukum syariat. Dan perlu dicatat pula, yang bisa dijadikan hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut perspektif syariah dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash yang syar’i. Artinya, syariat hanya memberikan ketentuan secara umum, maka batasan pastinya diserahkan pada menilaian adat istiadat yang berlaku.[12]
Dalam kaitan dengan adat lahi kawin, telah dijelaskan pada bab III bahwa mayoritas penduduk di Rejosari memeluk agama Islam. Berdasarkan kesimpulan hasil wawancara dilapangan, adat lahi kawin sudah ada sejak zaman dulu dan berkembang hingga zaman sekarang dan sesuai dengan hukum perkawinan di Indonesia dan agama Islam, karena pada pelaksanaannya tidak mengurangi salah satu syarat sahnya perkawinan, jadi melaksanakan pernikahan dengan mengunakan adat lahi kawin hukumnya boleh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adat lahi kawin yang ditaati oleh masyarakat Rejosari ini tidak begitu saja diklaim sebagai suatu produk hukum yang diharamkan atau mengandung ‘urf fasid namun harus diperhatikan pila ketika adat lahi kawin ini didasarkan pada faktor ekonomi dan proses pelaksanaan adat lahi kawin.
 Esensi dari adat lahi kawin adalah untuk mencapai suatu kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Maka adat lahi kawin pun masih relevan untuk digunakan, karena dalam hukum Islam perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Apabila adat lahi kawin tersebut dilaksanakan dengan mengunakan tata tertib dan aturan yang ada maka adat tersebut tidak mengandung nilai kemafsadatan, bila kedua unsure tersebut terdapat dalam sebuah perbuatan, maka yang menjadi standar adalah nilai mana yang banyak manfaatnya dan sedikit madharatnya.


 
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah penyusun mendeskripsikan dan menganalisis tinjauan hukum Islam terhadap adat lahi kawin di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi dalam pembahasan penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Faktor atau alasan yang menyebabkan terjadinya adat lahi kawin di Rejosari adalah faktor ekonomi dan faktor tidak adanya persetujuan dari orang tua.
2.      Tata-cara Adat lahi kawin masih ada dan ditaati oleh masyarakat Rejosari. Mereka beranggapan bahwa tata-cara adat lahi kawin sah menurut norma sosial yang berlaku pada masyarakat tetapi mencenderai kemaslahatan dan ketertiban masyarakat tersebut.
3.      Tidak ada nâs yang mengatakan bahwa adat lahi kawin itu halal atau haram. Dengan demikian pada dasarnya aturan tersebut adalah mubah dan boleh dilakukan oleh masyarakat Rejosari. Walaupun demikian, adat lahi kawin melanggar norma sosial dalam masyarakat.
B.     Saran-saran 
1.         Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat, bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada masyarakat lainnya.
2.         Demi menciptakan masyarakat yang tentram dan damai terutama dalam berkeluarga, harus ada keterbukaan, dengan adanya sikap saling terbuka tersebut satu sama lainnya bisa saling mengerti keinginan dari masing-masing pihak, maka perselisihan bisa diminimalisir.
3.         Walaupun adat lahi kawin sah menurut hukum Islam, tapi hal ini  tidak sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial karena ada beberapa hak yang dilanggar di dalam pelaksanaan adat lahi kawin.

 
DAFTAR PUSTAKA

A.    Al-qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Bandung: Lubuk Agung, 1989.
B.     Hadis
Bukhãri, al-, Sahîh al-Bukhărî,3 jilid Beirut: Dăr al-Hadis, 2000M.
Hăfiz, al-Imam Ibn al-a’rabi al-Maliki, “Aridah al-Ahwazi bi Syarh at-Tirmizi”, 5 jilid,  Beirut: Dăr Ilya’ at-Turas al-‘Arabi, 1415H/1995M.
Muslim, Sahîh Muslim, 3 jilid, Bairut: Dār al-Fikr, t.t. II.
Tirmizi, At-, Sunan at-Tirmizî, Beirut: Dăr al-Fikr,t.t. II.
C.    Fiqh/Ushul Fiqh
Abidin Slamet dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Adji, Sution Usman, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, cet. ke-2, Yogyakarta: Liberty, 2002.
Abdul Haq dkk., Formalitas Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual), Surabaya: khalista, 2005.
AF, E Mustofa, Islam Membina Keluarga Islam dan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Kota Kembang, 1987.
Ali,Zainiddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. Ke-5, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987.
______, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Djazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III, Bandung: Orba Shakti, 1992.
Fathurrahman dan Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Ghazali, Al-, Menyingkap Hakikat Perkawinan, Penerjemah Muhammad Al-Baqir Bandung, 1999.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Khallaf. Abd Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh Jilid 1), alih bahasa Moch Tolchah Mansur, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980.
Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2008.
Mughniyah, Muhammad  Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera, 2008.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1Edisi Revisi, Yogyakarta: Tazzafa, 2005.
Nur. Djamar, Fiqh Munakahat Semarang: Toha Putra, 1993.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), cet. Ke-4, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Sabiq, As-Sayyīd, Fiqih Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabi,1990.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet. Ke-4, Yogyakarta: Liberty,1999.
Syafe’i, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:  Pustaka Setia, 2007.
D.    Undang-undang
Kompilasi Hukum Islam, Cet. Ke-2, Bandung: Fokusmedia, 2007.  
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
E.     Lain-lain
Soekanto. Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1981.
Sudiyat. Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. Ke-2, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Thalib. M, Liku-Liku Perkawinan, Yogyakarta: Hidayat, 1986.
F.     Kelompok Kamus dan Ensiklopedi
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Insonesia edisi 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa Pustaka, 1998.
Purwadarmita W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1985.



[1] Berelek berarti pesta perkawinan.
[2] Al-Bukhari, Sahîh al-Bukhărî,(Beirut:Dăr al-Hadis, 2000M), hadis No. 4769,”Kităb al-Nikăh”, Bab al-Walimatu Walau Bi Syatin.
[3] Al-A’raf (7): 31.
[4] Al-Baqarah (2): 185.
[5] Muslim, Abu Husain Muslim Ibn al-Hajjah Ibn Muslim al-Qosiri an-Nayasaburi, Shahîh Muslim, (Bairut: Dār al-Fikr, t.t.), II: 140, “Kitab an-Nîkāh”, “Bab al-Wafa bi asy-Syuyuti fi an-Nikāh”, Hadis dari Abu Hurairah.
[6] Ratno Lukito, Trasidi Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 107.
[7] Djazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III (Bandung: Percetakan Orba Shakti, 1992), hlm.82.
[8] Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:  Pustaka Setia, 2007), hlm. 128
[9] Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hlm. 168.
[10] Ibid, hlm. 500.
[11] Abdul Haq dkk, Formasi Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual), (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 209.
[12] Ibid, hlm. 268.


[1] Adat berdasarkan syariah Islam, dan syariah Islam berdasar Al-Quran.
[2] Wawancara dengan Bapak Untung Samsudin, Ketua Lingkungan III  Desa Rejosari, Tanggal 07 Maret 2011.
[3] Maksudnya adalah setiap perilaku masyarakat ada aturannya dan tata kramanya. Yang termasuk adat adalah Pucuk Undang, Induk Undang nan Delapan dan Anak Undang nan Dua Belas.
[4] Adat nan tumbuh dateh tumpak adalah aturan yang mengatur tentang perilaku dan tata krama masyarakat asli daerah itu. Sedangkan lembago nan tumbuh dateh tuang berarti aturan tentang perilaku orang luar yang tinggal di daerah tersebut, merantau dari daerah asalnya, berinduk semang dan menikah dengan gadis setempat.
[5] Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, Jambi, 1987, hlm. 2-6.
[6] Merantau di sungai yang ditambat, merantau didarat yang dipautkan. Merantau sekali lewat, mendayung yang sekali tempuh, tapi tidak membawa cupak (sejenis buah-buahan) yang di luar gantang (takaran). Tidak memanjangkan kuting (pangkal pada parang yang melekat pada gagangnya) dari gagang, tidak pula membesarkan pasak lebih dari pada tiang.
[7] Lantak adalah sejenis gubuk yang didirikan di tengah sungai untuk menunggu ambat (sejenis pukat), alat ini dibuat hanya untuk menangkap ikan dengan ukuran yang besar. Lantak biasanya juga dipakai sebagai tempat untuk mengambil sialang (tempat madu) di dalam hutan.
[8] Sejenis kayu yang kuat, keras dan tahan lama di dalam air, biasanya kayu ini digunakan untuk membuat tepian mandi atau peralatan menangkap ikan.
[9]  Hilman Hadi Kusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandar: Lampung CV, 1999), hlm. 189-190.
[10] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat  Desa Rejosari, Tanggal 04 Maret 2011.
[11] Wawancara dengan Bapak Temon, Kepala Desa Rejosari, Tanggal 04 Maret 2011.
[12] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat Desa Rejosari pada tanggal 04 maret 2011.
[13] Berjalam gelap malam, berobor batang pisang, berlayar biduk berbelok arah, mencari jalan pintas.
[14] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat  Desa Rejosari, Tanggal 04 Maret 2011.


[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 518.
[2] Ibid., hlm. 519.
[3] Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.1-10.
[4] W.J.S.Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm.453.
[5]  Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, (Kuala Lumpur:  Dewan Bahasa Pustaka, 1998), hlm 558.
[6]  Yāsin (36): 36.
[7]  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[8]  Zainiddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 7.
[9]  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[10] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 33-34.
[11] Mohd Idris Ramulyo, Hukum  Perkawinan Islam,(Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam )cet. Ke 4 (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 22.
[12] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet.ke 5.(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987),  hlm. 13.
[13]  An-Nūr (24): 33.
[14] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, hlm.38.
[15] Ar- Rum (30): 21.
[16] Imam Al-Bukharî, Sahîh al-Bukharî, “Kitab  an-Nikah”, hadist ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhorî dari Umar bin Hafs bin Ilyas dari Abdullah.
[17] An-Nisā (4): 28.
[18] An-Nisā (4): 1.
[19] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, ( Yogyakarta: Liberty), hlm. 18.
[20] Bab IV Pasal 14.
[21] Al-Ghāzalî, Menyingkap Hakikat Perkawinan, penerjemah Muhammad Al-Baqir (Bandung: 1999), hlm. 63.
[22] Ibid., hlm. 64.

[23] Pasal 6.

[24]  Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Hazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 145.
[25]  Ibid., hlm. 151
[26] Muhammad  Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta : lentera, 2008), hlm. 345.

[27]  E Mustofa AF, Islam Membina Keluarga Islam dan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 84.
[28] Al-Baqarah (2): 232.
[29] Kompilasi Hukum Islam buku I Tentang Perkawinan pasal 19-23.
[30] Asy-Syairāzi, al-Muhazzab fī  fiqh al-imam asy-syafi’I, (ttp : dar al fikr, t.t),hlm 64.
[31] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hlm.745.
[32] As-Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, (kairo dar al-fath li al-I’lam al-arabi,1990), hlm.33 .
[33] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), Yogyakarta : liberty, hlm.62.
[34]  Al-Bukhãri, Sahîh al-Bukhărî,(Beirut:Dăr al-Hadis, 2000M), III: 451, hadis No. 4769,”Kităb al-Nikăh”, Bab al-Walimatu Walau Bi Syatin.



[1] M. Thalib, Liku-Liku Perkawinan (Yogyakarta: PD. Hidayat, 1986), hlm. 1-2.
[2] Ar-Rŭm (30): 21.
[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Islam (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 16.
[4] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat  Desa Rejosari, Tanggal 04 Maret 2011.
[5] Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, Jambi, 1987, hlm. 40.
[6] Ibid., hlm. 41.
[7] Ibid., hlm. 42.
[8] Ibid., hlm. 43.
[9] Ibid., hlm. 43.
[10] Teliman adalah  syarat yang diminta oleh calon mempelai perempuan pada saat duduk betunang.
[11] Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, cet. ke-2, (Yogyakarta: Liberty, 2002).
[12] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. Ke-2, (Yogyakarta: Liberty, 1981).
[13] Fitri Lutfiana Immawati, Perlindungan Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Kawin Bawa Lari di Kota Metro, Lampung),  Skripsi: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996, Tidak diterbitkan.
[14] Linnida Santi, Kawin Lari Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Mompang, Kecamatan Padang Sidempuan Batunadua, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara), Skripsi: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006, Tidak diterbitkan.
[15] Syazili, Tinjauan Hukum Perkawinan Islam Terhadap Perkawinan Rasan Tua(Studi Kasus di Desa Tanjung Kec. Tanjung Lubuk, Kab. Ogan Kemiring Ilir Propinsi Sumatra Selatan), Skripsi: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, Tidak diterbitkan.
[16] Nani Kuswani, Wali Hakim Dalam Kawin Lari, Skripsi: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, Tidak diterbitkan.
[17] Djamar Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 62.
[18] Djazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III (Bandung: Percetakan Orba Shakti, 1992), hlm.82.
[19] Abdul Haq dkk., Formalitas Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual), (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 289-290.
[20] Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:  Pustaka Setia, 2007), hlm. 128.
[21] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh; Kaidah Hukum Islam, alih bahasa Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 110.